Jumat, 31 Agustus 2012

BID'AHNYA MENGANGGAP SIAL MENIKAH DI BULAN SYAWAL




Sudah merupakan sebuah tradisi dalam masyarakat di negeri ini apabila akan mengadakan hajat atau pesta terutama pernikahan, jauh-jauh hari keluarga dari kedua pasangan calon pengantin saling berembuk untuk menentukan hari dan bulan dilaksanakannya pernikahan. Kadang-kadang ada pula yang melibatkan para sesepuh dan orang-orang alim serta para paranormal dan orang-orang pintar guna mencarikan jadwal waktu berupa tanggal dan bulan yang baik dilangsungkannya hajatan. Dicarikannya waktu yang tepat berupa hari dan bulan yang dianggap baik agar perkawinan yang direncanakan akan membuahkan kebaikan, karena apabila pernikahan dilakukan pada hari dan bulan-bulan yang dianggap dapat mendatangkan kesialan akan menjadikan pernikahan tersebut nantinya akan bermasalah.
Diantara dua belas bulan dalam  hitungan kalender Hijriyah, terdapat bulan-bulan yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat mengandung kesialan apabila pernikahan dilakukan dalam bulan tersebut. Bulan yang dimaksud adalah bulan Syawwal.
Karenanya pada bulan Syawal sangat jarang bahkan samasekali tidak kita temui adanya hajatan pernikahan. Pada bulan tersebut Kantor Urusan Agama dan Imam P3NTR  sepi dari job menikahkan orang. Tidak seperti bulan-bulan lainnya di luar bulan Syawal.
Mereka-mereka yang beranggapan bahwa bulan Syawwal merupakan waktu yang kurang tepat bagi diselenggarakannya pernikahan sebab akan mendatangkan kesialan bagi pasangan yang menikah, tidak saja terdapat dikalangan masyarakat pedesaan tetapi juga telah berkembang lama ditengah-tengah masyarakat perkotaan. Anggapan bahwa bulan Syawal mengandung kesialan untuk melaksanakan hajatan tidak saja terbatas dikalangan masyarakat kalangan bawah, tetapi juga di kalangan masyarakat kelas menengah dan atas
Berkaitan dengan itu bagaimana tentang adanya kesialan dalam bulan-bulan tertentu menurut Islam ?. Benarkah di dalam Islam terdapat bulan-bulan yang dapat mendatangkan kesialan seperti bulan Syawal yang dapat membawa kesialan bagi mereka yang menikah?
Dalam ulasan berikut ini dikemukakan secara ringkas  bagaimana menurut Islam  tentang adanya anggapan sebagian orang tentang kesialan dimaksud
Bid’ahnya Anggapan Sialnya Menikah Di Bulan Syawwal
Anggapan masyarakat di negeri ini tentang kesialan bulan Syawal untuk melangsungkan hajatan pernikahan rupanya akibat tertular dari sisa-sisa peninggalan dari orang-orang Arab zaman jahiliyah sebelum lahirnya Islam.
Ibnu Mandzur berkata, “Syawwal adalah termasuk nama bulan yang telah dikenal, yaitu nama bulan setelah bulan Ramadhan, dan merupakan awal bulan-bulan haji.” Jika dikatakan Tasywiil (syawwalnya) susu onta berarti susu onta yang tinggal sedikit atau berkurang. Begitu juga onta yang berada dalam keadaan panas dan kehausan.
Orang Arab menganggap bakal sial/malang bila melangsungkan aqad pernikahan pada bulan ini dan mereka berkata : “Wanita yang hendak dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin mengawininya seperti onta betina yang menolak onta jantan jika sudah kawin/bunting dan mengangkat ekornya.”
Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membatalkan anggapan sial mereka tersebut, dan Aisyah berkata,:
مسند أحمد ٢٣١٣٧: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَأُدْخِلْتُ عَلَيْهِ فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَائِهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي فَكَانَتْ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ
 Musnad Ahmad 23137: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Sufyan dari Ismai'l bin Umayah berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah berkata; "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menikahiku di bulan Syawwal dan menggauliku di bulan syawwal, maka istri beliau mana yang lebih beruntung di sisi beliau dariku?, Adalah beliau senang untuk memulai kehidupan berumahtangga dari istri-istrinya pada bulan Syawwal."
Maka yang menyebabkan orang Arab pada jaman jahiliyah dulu menganggap sial menikah pada bulan syawwal adalah keyakinan mereka bahwa wanita akan menolak suaminya seperti penolakan onta betina yang mengangkat ¬ekornya, setelah kawin/bunting.
Berkata Ibnu Katsir – rahimahullah – : “Berkumpulnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha pada bulan syawwal merupakan bantahan terhadap keraguan sebagian orang yang membenci untuk berkumpul/ menikah dengan isteri mereka di antara dua hari raya, karena kawatir bakal terjadi perceraian antara suami-isteri tersebut, yang hal ini sebenarnya tidak ada sesuatupun padanya.” (Al Bidayah Wan Nihayah III/253)
Anggapan sial menikah pada bulan Syawwal adalah perkara batil, karena anggapan sial itu secara umum termasuk ramalan/undi nasib yang dilarang oleh Nabi Shallallahu Alaihi wassallam pada sabda beliau :
صحيح البخاري ٥٣٢٩: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَحَمْزَةُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ
Shahih Bukhari 5329: Telah menceritaka kepada kami Sa'id bin 'Ufair dia berkata; telah menceritaka kepadaku Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah dan Hamzah bahwa Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), dan adakalanya kesialan itu terdapat pada tiga hal, yaitu; kendaraan, isteri dan tempat tinggal."
Dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam :
سنن الترمذي ١٥٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ عِيسَى بْنِ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطِّيَرَةُ مِنْ الشِّرْكِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَحَابِسٍ التَّمِيمِيِّ وَعَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَسَعْدٍ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ وَرَوَى شُعْبَةُ أَيْضًا عَنْ سَلَمَةَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ سَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ يَقُولُ كَانَ سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ يَقُولُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ قَالَ سُلَيْمَانُ هَذَا عِنْدِي قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَمَا مِنَّا
Sunan Tirmidzi 1539: dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya thiyarah (pesimis) bagian dari syirik dan bukan bagian dari ajaran kami, justru Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan bertawakkal kepada-Nya." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada hadits dari Abu Hurairah, Habis At Tamimi, 'Aisyah, Ibnu Umar dan Sa'd. Hadits ini derajatnya hasah shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Salamah bin Kuhail. Syu'bah juga meriwayatkan dari Salamah dengan hadits yang sama. Ia berkata, "Aku mendengar Muhammad bin Isma'il berkata, "Sulaiman bin Harb berkata tentang hadits ini, 'dan bukan dari kita, justru Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan bertawakkal kepada-Nya', Sulaiman berkata, "Ini menurut pendapatku, adalah perkataan Abdullah bin Mas'ud "dan tidaklah (thiyarah) dari ajaran kami."
Begitu juga sama halnya dengan itu adalah anggapan sial di bulan Shafar.
Berkata Al Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menjelaskan hadits Aisyah Radhiyallahu’anha, di atas : “Hadits itu menunjukkan bahwa disunnahkan menikahi, memperistri wanita dan berkumpul/menggauli pada bulan Syawwal dan shahabat-shahabat kami juga menyebutkan sunnahnya hal itu dan mereka berdalil dengan hadits tersebut.”
Aisyah sengaja berkata seperti tersebut diatas untuk membantah tradisi orang-orang jahiliyyah dan apa yang dihayalkan sebagian orang awam pada saat ini, berupa ketidak sukaan mereka menikah dan berkumpul pada bulan Syawwal. Dan hal ini adalah batil dan tidak ada dasarnya, dan termasuk peninggalan jahiliyyah dimana mereka meramalkan hal tersebut dari kata syawwala yang artinya mengangkat ekor ( tidak mau dikawin).” (Syarah shahih Muslim karya Imam an Nawawi (IX/209).( Lihat Kitab Al Bida’ Al Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul Fadhilah Riyadh, Hal. 348-349. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa’i)
Anggapan Adanya Bulan Sial
Seseorang bertanya kepada Asdy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh tentang apakah dibolehkan bagi seseorang untuk membenarkan atau menganggap sial angka tertentu, demikian pula hari, bulan dan seterusnya?
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab:
“Tidak boleh, bahkan hal itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di mana Islam datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan, karena tidak ada yang memberi, yang menolak, yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ
Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus: 107)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوِ اجْتَمَعَتِ اْلأُمَّةُ عَلَى أَنْ يَّنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
Seandainya umat berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semuanya berkumpul untuk memudaratkanmu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudaratan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (catatan takdir)(. HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 5302,)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial dengan sesuatu), tidak ada kesialan dengan keberadaan burung hantu dan tidak ada pula kesialan bulan Shafar.” (HR. Bukhari dan Muslim
Dalam satu riwayat:
لاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ
Tidak ada nau` dan tidak ada ghul.” (HR. Muslim)
Keterangan:
-Nau` adalah bintang. Orang-orang jahiliyyah menyandarkan kesialan dan keberuntungan yang mereka peroleh dengan bintang. Sebagian bintang menurut mereka sial sehingga mereka katakan: Ini bintang nahas tidak ada kebaikan padanya. Sebagian lain dari bintang, mereka anggap membawa keberuntungan sehingga bila mereka dicurahi hujan, mereka berkata: “Kita diberi hujan oleh bintang ini”. Mereka tidak mengatakan: “Kita diberi hujan dengan keutamaan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al-Qaulul Mufid `ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin , 1/568).
-Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan orang yang sedang berjalan di padang pasir atau lembah. Yang ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits adalah pengaruh ghul ini, bukan keberadaannya. Setan yang suka mengganggu manusia seperti ghul ini memang ada, namun bila kuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menghiraukan keberadaannya, setan ini tidak dapat memudaratkan dan menghalanginya menuju arah yang hendak ditujunya. (Al-Qaulul Mufid, 1/569)
Dalam hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: (وَلاَ صَفَرَ) menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak mudarat. Demikian pula hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya orang jahiliyyah menganggap sial hari Rabu, menganggap sial untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawwal secara khusus. Sehingga Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal, maka siapakah yang lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?”
Hal ini seperti anggapan sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah (10 shahabat Rasulullah yang diberi kabar gembira masuk surga ketika mereka masih hidup4). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum, mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua; waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan ia termasuk jenis sihir.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat berikut:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
Maka beribadahlah engkau kepada-Nya dan bertawakallah.” (Hud: 123)
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ
Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku akan kembali.” (Asy-Syura: 10)
Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang telah disebutkan. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134
Menikah di Bulan Syawal Sunnah Rasullullah Shallallahu’alaihi wa sallam
Sebagian ulama menyarankan seyogyanya pernikahan itu dilaksanakan dalam bulan syawal, karena Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhyallaahu’anha di dalam bulan Syawwal, sebagaimana yang disebutkan dalam hadist dari Aisyah :
مسند أحمد ٢٣١٣٧: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَأُدْخِلْتُ عَلَيْهِ فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَائِهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي فَكَانَتْ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ
 Musnad Ahmad 23137: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Sufyan dari Ismai'l bin Umayah berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah berkata; "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menikahiku di bulan Syawwal dan menggauliku di bulan syawwal, maka istri beliau mana yang lebih beruntung di sisi beliau dariku?, Adalah beliau senang untuk memulai kehidupan berumahtangga dari istri-istrinya pada bulan Syawwal."


Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarakat jahiliah yang meyakini adanya kesialan di bulan Syawal.”
Sebagai umat yang mencintai Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam kita wajib untuk mengikuti sunnah-sunnah beliau yang begitu banyak termasuk tentunya melakukan pernikahan di dalam bulan Syawwal. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
سنن ابن ماجه ١٨٣٦: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Sunan Ibnu Majah 1836: dari 'Aisyah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Menikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku berarti bukan dari golonganku. Hendaklah kalian menikah, sungguh dengan jumlah kalian aku akan berbanyak-banyakkan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah menikah, dan siapa yang tidak hendaknya berpuasa, karena puasa itu merupakan tameng."
Orang-orang yang tidak mau mengikuti atau membenci sunnah Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam oleh beliau dianggap bukan umat beliau sebagaimana hadits berikut ini ;
سنن أبي داوود ١١٦٢: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنَا عَمِّي حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ فَجَاءَهُ فَقَالَ يَا عُثْمَانُ أَرَغِبْتَ عَنْ سُنَّتِي قَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنْ سُنَّتَكَ أَطْلُبُ قَالَ فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ فَاتَّقِ اللَّهَ يَا عُثْمَانُ فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَصُمْ Sunan Abu Daud 1162: Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Sa'd telah menceritakan kepada kami pamanku telah menceritakan kepada kami ayahku dari Ibnu Ishaq dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang menemui Utsman bin Mazh'un, lalu Utsman datang kepada beliau, maka beliau bersabda: "Apakah kamu membenci sunnahku?" Utsman menjawab; "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah… bahkan sunnahmu lah yang amat kami cari." Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku tidur, aku juga shalat, aku berpuasa dan juga berbuka, aku juga menikahi wanita. Bertakwalah kepada Allah wahai Utsman, sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas dirimu, dan tamumu mempunyai hak atas dirimu, dan kamu pun memiliki hak atas dirimu sendiri, oleh karena itu berpuasa dan berbukalah, kerjakanlah shalat dan tidurlah."
Mengingat bahwa melaksanakan pernikahan dalam bulan syawwal merupakan sunnah Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka seyogyanyalah orang-orang yang merencakan pernikahan memilih waktu penyelenggaraannya di dalam bulan syawwal untuk mencontoh perbuatan Rasullullah shallallhu’alahi wa sallam yang menikahi Aisyah.
P e n u t u p
Meskipun peradaban dunia sudah sedemikian maju dan modern, tetapi ternyata masih ada sebagian dari masyarakat muslim di negeri ini yang masih mempertahankan kepercayaan kepada sesuatu yang mendatangkan kesialan yang diwarisi dari kepercayaan orang-orang Arab jahiliyah diantaranya anggapan sial untuk melakukan pernikahan di dalam bulan Syawwal.
Para ulama menegaskan bahwa anggapan adanya kesialan terhadap sesuatu termasuk menganggap sialnya bulan Syawwal merupakan perbuatan bid’ah yang tidak ada dasarnya, bahkan sebagian ulama menyebutkan syiriknya keyakinan adanya kesialan’
Melakukan pernikahan dalam bulan Syawwal bahkan sebenarnya merupakan sunnah dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena beliau menikah dan bergaul dengan isteri beliau Aisyah dilakukan bulan Syawwal.
Seyogyanya sebagai umat Islam yang mencintai Rasullullah shallalalhu’alahi wa sallam diperintahkan untuk mengikuti sunnah-sunah beliau yang tidak terhitung banyaknya, antara lain melakukan pernikahan di bulan Syawwal, bukan sebaliknya menghindari menikah dibulan Syawwal karena beranggapan adanya kesialan di bulan tersebut.( Wallaahu’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemahan,www.salafi-db.com
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, www.lidwapusaka.com
3.Artikel 
www.KonsultasiSyariah.com
6.Artikel www.asysyariah.com
7.Artikel www. Muslim.Or.Id
Selesai disusun, Sabtu 14 Syawwal 1433 H / 1 September 2012
( Musni Japrie )

Rabu, 29 Agustus 2012

MENGKRITISI LEBARAN (HARI RAYA) KETUPAT SEBAGAI PERBUATAN MENGADA-ADA DALAM AGAMA




Sebagian besar  umat islam Indonesia khususnya dari masyarakat suku Jawa, selepas sepekan menyambut dan merayakan hari raya Iedul Fithri 1 Syawal kembali melakukan  penyambutan dan perayaan hari raya yang dikenal dengan sebutan lebaran (hari raya) ketupat dengan menu khusus ketupat.  Tetapi penyambutan dan perayaan lebaran ( hari raya ) ketupat tersebut tidaklah semeriah sebagaimana hari raya Iedul Fithri.
Perayaan dan penyambutan lebaran ( hari raya ) ketupat ini konon sudah lama berlansung dan dikenal  di tanah air ini khususnya dikalangan masyarakat pulau Jawa sebagai tradisi yang diwarisi turun temurun dari zaman kerajaan.
Lebaran (hari raya) ketupat dilakukan terkait dengan selesainya dilaksanakan dengan puasa sunnah 6 hari di bulan syawal yang tentunya hal ini berkaitan dengan masaalah agama. Karena pelaksanaannya terkait dengan masaalah agama, maka timbul sebuah pertanyaan apakah Lebaran (hari raya) ketupat tersebut memang disyari’atkan dalam Islam.
Sehubungan dengan itu maka dalam ulasan berikut ini dibahas mengenai lebaran (hari raya) ketupat tersebut ditinjau dari sudut pandang kaca mata syari’at. Apakah lebaran (hari Raya ) ketupat tersebut merupakan perbuatan mengada-ada atau apakah bersesuaian dengan sunnah.
Sekilas Tentang Hari Raya ( Lebaran ) Ketupat
Dalam sebuah artikel di blog My Paradise ,Shodiqiel Hafily mengulas mengenai hari raya ketupat, yang menurutnya :Hari raya ketupat, disebut juga lebaran ketupat, merupakan hari raya ‘pamungkas’ dari serangkaian Idul Fitri. Hari raya ketupat inilah yang – sesungguhnya – disebut lebaran (dari bahasa Jawa “lebar”, artinya rampung, tuntas, selesai dan terbebas). Orang Jawa menyebutnya “riyoyo kupat”. Riyoyo kupat, sejatinya merupakan penutupan dari ibadah puasa 6 hari Syawal yang berakhir tanggal 7 jika dilakukan langsung-tunai dari tanggal 2 Syawal, maka tanggal 8 adalah lebaran ketupat. Menilik asal muasal dari tradisi Jawa asli ini, maka sesungguhnya riyoyo kupat adalah hari raya bagi orang yang melakukan puasa sunnah 6 hari Syawal. Namun dalam prakteknya tidak demikian, selamatan dengan menu utama ketupat disajikan tidak melulu pada tanggal 8 Syawal dan tidak hanya dirayakan oleh yang berpuasa sunnah saja. Terjadi pergeseran nilai dan tujuan dari awal ‘tasyri’nya’. Tidak masalah dan tidak ada salahnya kapanpun orang berselamatan dengan ketupat atau bukan, sedekah yang ikhlas dan baik tetap bernilai pahala.
Tradisi riyoyo kupat, sebagaimana namanya, adalah murni tradisi Jawa. Tidak akan ditemukan di belahan benua lain manapun. Demikian pula referensi tentang riyoyo kupat ini sulit dicari di buku-buku. Filosofi kupat-lepet bersumber dari kalangan Islam Jawa kuno yang dituturkan secara turun temurun dari kearifan para pinisepuh jaman dulu dalam menanamkan nilai-nilai luhur ke-Islam-an dengan paduan kehalusan budaya jawa dalam bermetafora.
Lebaran, sebagaimana disebut di awal tulisan, berasal dari kata lebar dengan arti sudah rampung dari puasa 6 hari Syawal dan sudah selesai bersilaturrahmi dengan sanak kerabat, handai tolan dll. Sebagai ungkapan syukur dan harapan terkabulnya segala amal ibadah, maka diadakan selamatan dengan menu utama kupat dan lepet. Kupat adalah beras yang ditanak dalam bungkus anyaman daun kelapa muda yang di sebut janur. Dipilihnya janur sebagai bungkus semata-mata sebagi tafa’ul (harapan terjadinya sesuatu dengan penyimbolan tertentu) agar diberi penerangan cahaya. Janur diarabkan menjadi ja’a nur (telah datang cahaya).
Kupat merupakan akronim Jawa dari ngaku lepat (mengakui kekhilafan, kesalahan atau kekeliruan). Sebagaimana kita maklumi bersama di pengajian-pengajian, mengakui kesalahan merupakan dasar pokok dari taubat disamping meminta maaf dan menyesali perbuatan. Dengan kupat, diharapkan akan enteng dan mudah bagi kita untuk menyerap pelajaran mengakui kesalahan kita tanpa diribetkan oleh status ke-AKU-an yang merupakan pangkal dari egoisme-kesombongan dan keangkuhan.
Ketupat kemudian dipasangkan dengan lepet sebagai pelengkap. Lepet diartikan lekat (lengket), dimaksudkan sebagai penyadaran bahwa manusia memang tidak terlepas dari kesalahan. “Kullu bany Adam khattho’un wa khoyr al-khottho’in al-tawwabun” (semua anak turun Adam [berpotensi] melakukakan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang bertobat). Lepet dari bahan beras ketan dibungkus janur juga, dicampur dengan sedikit biji kacang panjang kering. Biji kacang yang hitam begitu mencolok dalam lepet dari beras ketan yang putih. Demikian dalam kehidupan sehari-hari, manusia cenderung ‘meneropong’ kesalahan orang lain. Dan, umumnya, kesalahan sulit dimaklumi diantara sekian banyak kebenaran dan kebaikan. Dengan lepet ini diharapkan tumbuh sifat arif, dengan memaklumi kesalahan yang terjadi di tengah-tengah pergaulan bermasyarakat. Fitrah manusia itu cenderung pada yang baik dan yang benar. Hanya saja, entah karena apa, bisa saja terjadi kesalahan dan itu menjadi sebuah catatan khusus tak terlupakan tanpa mempertimbangkan sisi-sisi kebaikan dan kebenaran yang – sebenarnya – jauh lebih dominan ketimbang kesalahan yang diperbuat seseorang.
Dengan saling menyadari kesalahan, saling memaklumi dan saling memaafkan, langkah-langkah ke depan menjadi lebih terarah oleh penerangan cahaya dan hidup menjadi damai dalam kebersamaan. Kebersamaan inilah yang menjadi inti dari disyariatkannya shalat berjamaah, haji dan jamaah-jamaah lainnya. Karena hanya dengan kebersamaan, cita-cita besar dapat diwujudkan.
Menurut Muhammad Kyai Wonopatih, imam masjid Al-Maghfirah, Reksonegoro, Bakdo Ketupat merupakan warisan leluhur dari Jawa yang diwariskan oleh Sunan Bonang yang memiliki makna lebar yang berarti dilaksanakan sesudah menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Lebur yaitu melebur dosa dengan saling memaafkan atas segala salah dan khilaf, leber yang bermakna mempertegas komitmen diri menyatu dengan masyarakat, dan luber yang berarti memperkaya ikatan sosial untuk memajukan daerah. Bakdo Ketupat merupakan bentuk ukhuwah islamiyah, wathoniyah, bashariyah/insaniyah
Mengaku bersalah
Menurut budayawan Djawahir Muhammad seperti dikutip oleh harian Surya Merdeka, ketupat itu sebenarnya melambangkan bahwa seseorang yang membawa ketupat itu ngaku ia manusia yang lepat (keliru). Kesalahan manusia yang bermacam-macam itu tercermin pada anyaman ketupat yang berselang-seling dan rumit.
Kalau ketupat kita belah, tampaklah isinya yang berwarna putih. Nah, itulah cerminan hati yang putih bersih dan suci setelah kita memohon ampun dari segala kesalahan. Bentuknya yang indah itu juga melambangkan kesempurnaan setelah umat Muslim menuntaskan ibadah puasanya selama sebulan.
Maka ketika kita mengantarkan hidangan ketupat dan ubo rampe-nya kepada sanak keluarga dan kerabat, secara simbolis kita menyatakan permohonan maaf sambil mengajak bersilaturahmi. Indah, bukan?
Meskipun belum ditemukan literatur yang menyebutkan secara jelas siapa dan kapan yang menemukan ketupat, Sunan Kalijaga dipercaya sebagai tokoh yang pertama kalinya memperkenalkan makanan nasi terbungkus daun muda pohon kelapa itu kepada masyarakat Jawa.
Beliau juga yang konon memperkenalkan perayaan Bakda Kupat. Yang menarik, meski bagi kita di sini ketupat itu identik dengan Hari Raya Idul Fitri, ternyata Bondan Winarno, penulis dan pengamat kuliner, seperti dituturkannya, tidak menemukan ketupat di salah satu negara Arab saat ia suatu hari berlebaran di sana.
Sementara itu, mari kita saling mengantar ketupat, sambil membawa hati bersih yang siap saling memberi maaf. Minal Aidin Walfaizin … maaf lahir dan batin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 Hijriah

 Hari Raya, Ibadah atau Adat?
Menurut Asy-Syaikh Salim bin Sa’ad ath-Thowil hafidzohullahtidak Ada Hari Raya Kecuali Hanya Iedul Fithri dan Iedul Adha
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، أما بعد:
Sesungguhnya hari raya dinamakan Ied karena ia berulang dan kembali. Dan kata Ied dimutlakkan pada tempat dan waktu yang manusia kembali kepadanya, sebagaimana dalam hadits yang shohih adh-Dhohhak rodhiyallohu anhu berkata : Seseorang bernadzar di masa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan berkata : “aku bernadzar untuk menyembelih unta di Bawwanah”, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “apakah di sana ada berhala jahiliyyah yang disembah?”, mereka berkata : “tidak”, beliau bersabda : “apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?”, mereka berkata : “tidak”, beliau bersabda : “Tunaikanlah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nadzar yang berupa maksiat kepada Alloh dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” [HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shohihain]
Dan hadits Anas radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersada :
قدمت المدينة ولأهل ا لمدينة يومان يلعبون فيهما في الجاهلية وإن الله تعالى قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر
Aku datang ke Madinah ketika penduduknya memiliki dua hari yang mereka bermain-main pada dua hari itu pada masa jahiliyyah, dan sesungguhnya Allah ta’ala telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik daripada keduanya : Iedul Fithri dan Iedul Adha.” [HR Ahmad, Abu Dawud & an-Nasa’i]
Inilah dua hadits shohih dan keduanya merupakan tonggak dalam memahami hukum-hukum seputar hari raya-hari raya yang baru, yaitu hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adha. Nabi shollallohu alaihi wa sallam ketika bertanya kepada seseorang dalam hadits pertama tersebut tentang Bawwanah: “apakah di sana dilakukan perayaan hari raya orang-orang musyrik?”, untuk mencari kejelasan sebelum mengizinkannya melaksanakan nadzarnya atau tidak. Ketika beliau diberitahu bahwa hal tersebut tidak ada, beliau membolehkan ia menunaikan nadzarnya. Dan sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : “tidak boleh menunaikan nadzar yang berupa maksiat kepada Alloh” menunjukkan bahwa menyepakati orang-orang musyrik dalam hari raya mereka merupakan maksiat kepada Alloh tabaroka wa ta’ala.
Dan hadits yang kedua –hadits Anas rodhiyallohu anhu- menunjukkan bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk melupakan hari-hari jahiliyyah yaitu hari dimana mereka menang atas musuh-musuh mereka sehingga mereka bermain-main di hari tersebut. Perhatikan kata “bermain-main”, mereka tidaklah merayakannya dengan sholat atau ibadah, bahkan mereka bermain-main pada hari yang disebut dengan “Yaumu Bu’ats” tersebut. Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang mereka merayakan dua hari ini dan memberitahu mereka bahwa Alloh ta’ala telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya; Iedul Fithri dan Iedul Adha.
Betapa jauhnya orang-orang pada masa sekarang dari Sunnah Nabi shollallohu alaihi wa sallam. Betapa banyaknya mereka membuat-buat hari raya-hari raya bid’ah yang Alloh tidak menurunkan penjelasannya. Dan kebanyakannya berupa ikut-ikutan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, atau mengikuti ahlul bida’ wal ahwa’, ataupun yang tidak diketahui asal usulnya. Kemudian jika kita perhatikan dan kita pelajari, kita akan mendapatkan bahwa makna hari raya dalam Islam tidak ada bandingannya dengan hari raya-hari raya lainnya yang diada-adakan, yakni hari raya yang syar’i merupakan waktu yang agung dan mulia yang memiliki makna yang besar; setelah dilaksanakannya puasa, sholat, i’tikaf, membaca al-Qur’an, menghidupkan lailatul qodr yang lebih baik dari seribu bulan, menyambung silaturahmi, berbuka puasa, zakat fithri dan waktu-waktu lainnya yang mendekatkan diri kita kepada Alloh, kaum muslimin berbahagia dengan ketaatan mereka kepada Robb mereka, maka datanglah Iedul Fithri setelah ibadah-ibadah yang agung ini.
Adapun Iedul Adha, ia adalah hari ke-sepuluh pada bulan Dzulhijjah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah yang Alloh telah bersumpah dengannya dalam firman-Nya :
وليال عشر
Dan malam yang sepuluh” [QS al-Fajr : 2]
Ia adalah hari-hari yang paling agung dalam setahun, dan diantaranya ada hari ke-sembilan : hari Arofah, yaitu hari terbaik yang matahari terbit padanya dimana para jama’ah haji wuquf di Arofah dan Alloh dan para malaikatnya bangga terhadap mereka dan Allah mengampuni siapa yang Dia kehendaki diantara mereka, dan orang-orang selain jama’ah haji ketika itu melaksanakan puasa Arafah satu hari yang menghapus dosa-dosa dua tahun, maka ketika mereka berada pada ketaatan kepada Allah azza wa jalla, Allah mensyariatkan kepada mereka Iedul Adha agar mereka mengingat Alloh pada hari itu dan menyembelih binatang kurban mereka untuk mendekatkan diri kepada Alloh dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Alloh. Maka mereka berhak untuk bergembira di hari raya mereka. Adapun hari raya-hari raya yang lain tidak memiliki makna yang mulia ini.
Kita misalkan, seandainya si fulan dilahirkan pada yang seperti hari ini, apakah perlu menjadikan setiap hari dari hari-hari yang ada bersepakat dengannya dalam bergembira dan bersenang-senang?
Jawabnya: tidak, hal ini terjadi pada ummat ini ketika (agama) mereka lemah sehingga mereka mengikuti ummat lainnya dan bodoh terhadap agamanya, la haula wa la quwwata illa billah. Bahkan beberapa peristiwa menyedihkan dan menyakitkan pun diperingati, mereka memperingati susah dan sedihnya mereka. Mengapa? Apakah Alloh yang memerintahkan ini ?! ataukah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam yang mensyariatkannya kepada kita?
Tidak ada hari raya melainkan hanya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Dan janganlah engkau tertipu dengan perkataan bahwa itu hanyalah peristiwa dan adat saja dan bukan ibadah, sampai kalian katakan bahwa itu adalah bid’ah. Ceritakanlah kepada mereka tentang “Yaumu Bu’ats” yang orang-orang dahulu bersenang-senang pada hari itu, mengapa Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang mereka dan memberitahu bahwa Alloh telah mengganti dengan yang lebih baik darinya, padahal mereka dahulu bermain, bersenang-senang dan bergembira?!
Hari raya dalam Islam harus berlandaskan dalil (tauqifiy)
Hukum asal dalam bab ibadah adalah bahwa semua ibadah haram sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab mu’amalah. Tapi masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifiy (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Asy-Syathibi mengatakan:
وإن العاديات من حيث هي عادية لا بدعة فيها، ومن حيث يُتعبَّد بها أو تُوْضع وضْع التعبُّد تدخلها البدعة.
Dan sungguh adat istiadat dari sisi ia adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya.”
Dan tauqifiy dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi:
Tauqifiy dari sisi landasan penyelenggaraan, di mana Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- membatasi hanya ada dua hari raya dalam satu tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ.
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya: “Apakah dua hari ini?” Mereka menjawab: “Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa Jahiliyah.” Beliaupun bersabda: “Sungguh Allah telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud no. 1134, dihukumi shahih oleh al-Albani) Maka, sebagai bentuk pengalaman dari hadits ini, pada zaman Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i.

Tauqifiy dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan minum, berpakaian, bermain dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariah . ( Lihat artikel Ustadz Anas Burhanuddin MA pada Blog Abu Abdurahman
Hukum Merayakan “LEBARAN KETUPAT”
Di antara perkara yang diada-adakan (bid’ah) pada bulan Syawwal adalah bid’ah hari raya Al Abrar (orang-orang baik) (atau dikenal dengan hari raya Ketupat.pent.), yaitu hari kedelapan Syawwal.
Setelah orang-orang menyelesaikan puasa bulan Ramadhan dan mereka berbuka pada hari pertama bulan Syawwal -yaitu hari raya (iedul) fitri- mereka mulai berpuasa enam hari pertama dari bulan Syawwal dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka namakan iedul abrar (biasanya dikenal dengan hari raya Ketupat. Pent )
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah –Rahimahullah- berkata: “adapun membuat musim tertentu selain musim yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awwal yang disebut malam maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jum’at pertama bulan Rajab, atau tanggal 8 Syawwal yang orang-orang jahil menamakannya dengan hari raya Al Abrar ( hari raya Ketupat) ; maka itu semua adalah bid’ah yang tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf. Wallahu Subhanahu wata’ala a’1am.
Peringatan hari raya ini biasanya dilakukan di salah satu masjid yang terkenal, para wanitapun berikhtilat (bercampur) dengan laki-laki, mereka bersalam-salaman dan mengucapkan lafadz-lafadz jahiliyyah tatkala berjabatan tangan, kemudian mereka pergi ke tempat dibuatnya sebagian makanan khusus untuk perayaan itu. (lihat : As Sunan wal mubtadi’at al muta’alliqah bil adzkar wassholawat karya Muhammad bin Abdis Salam As Syaqiriy hal. 166)
(Kitab Al Bida’ Al Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul Fadhilah Riyadh, Hal. 350. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa’i)
Hari kedelapan dari syawwal ini orang umum menamakannya sebagai Iedul Abrar (hari raya orang yang baik) yaitu orang-orang yang telah puasa enam hari syawwal. Namun hal ini adalah bid’ah. Maka hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk orang baik (abrar) dan bukan pula bagi orang jahat (Fujjar).
Sesungguhnya ucapan mereka (yaitu iedul abrar) mengandung konskwensi bahwa orang yang tidak puasa enam hari dari syawwal maka bukan termasuk orang baik, demikian ini adalah keliru. Karena orang yang telah menunaikan kewajibannya maka dia, tanpa diragukan adalah orang yang baik walaupun tentunya sebagian orang kebaikannya ada yang lebih sempurna dari yang lain.
Syari’at Islam Sangat Sempurna.
Berdasarkan riwayat yang shahih bahwa pada saat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersama para kaum muslimin sedang wukuf di padang Arafah dalam rangka menunaikan ibadah haji, Rasullah shalallahu’alaihi wa sallam menerima wahyu yang berisi firman Allah subhanahu wa ta’ala sebagai berikut :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya [395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah [396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini [397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa [398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS. Al Maidah: 3 )
Bertalian dengan ayat tersebut Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsir Al-Qur’an Al-Azhim , khususnya mengenai firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, Maksudnya yaitu Islam, Allah telah mengabarkan Nabi-Nya dan orang-orang yang beriman , bahwa Allah telah menyempurnakan keimanan kepada mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan samasekali. Dan Allah ta’ala telah menyempurnakan Islam, sehingga Allah tidak akan pernah menguranginyha, bahkan Allah telah meridhainya, sehingga Allah tidak akanb memurkainya selamanya.
Tentang telah sempurnanya islam yang menyangkut seluruh urusan yang berkaitan dengan agama disinggung pula dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad rahimahullah ta’ala dari Abu Dzar radlyallahu’anhu :
مسند أحمد ٢٠٤٦٧: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ الْمُنْذِرِ الثَّوْرِيِّ عَنْ أَشْيَاخٍ لَهُمْ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
لَقَدْ تَرَكَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يَتَقَلَّبُ فِي السَّمَاءِ طَائِرٌ إِلَّا ذَكَّرَنَا مِنْهُ عِلْمًا
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا فِطْرٌ عَنِ الْمُنْذِرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْمَعْنَى
Musnad Ahmad 20467: dari Abu Dzar berkata, "Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan kami dan tiada burung yang terbang kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitahukan tentang ilmunya."
Maksud perkataan Abu Dzar radlyallahu’anhu diatas ialah bahwa Rasulullah shalalla’u'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umatnya segala sesuatunya yang berhubungan dengan al Islam, baik dalam, bab keimanan, ibadah, muamalat, adab dan akhlak, kabarf-kabar, perintah-perintah dan larangan dan seterusnya. Untu itu Nabi yang mulia shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda , “ Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan kamu kesurga dan menjauhkan kamu dari api neraka, melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu “. Oleh karena itu barang siapa mencari jalan jannah (surga) dan menjauhkan dirinya dari nar (neraka ) tanpa mengikuti al Kitab dan as-Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menempuh jalan-jalan yang tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hadits lain yang membicarakan tentang telah sempurnanya Islam ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab sunan-nya :
Dari Muththalib bin Hanthab : “ Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda , “ Tidak aku tinggalkan sesuatu /sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah perintahkan kepada kamu, melainkan sesungguhnya aku perintahkan kepada kamu. Dan tidak aku tinggalkan kepada kamu sesuatu/ sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah larang/cegah kamu (mengerjakannya), melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu dari mengerjakannya

Sebuah hadits yang menggambarkan betapa hal yang kecilpun telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam kepada umatnya , sebagaimana hadits dibawah ini :

صحيح مسلم ٣٨٦: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ وَمَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ
قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُونَ إِنِّي أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ حَتَّى يُعَلِّمَكُمْ الْخِرَاءَةَ فَقَالَ أَجَلْ إِنَّهُ نَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِيَمِينِهِ أَوْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالْعِظَامِ وَقَالَ لَا يَسْتَنْجِي أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
Shahih Muslim 386: dari Salman ( al Faarisyi) dia berkata, "Kaum musyrikin berkata kepada kami, 'Sungguh, aku melihat sahabat kalian (Rasulullah) mengajarkan kepada kalian hingga masalah adab beristinja', maka dia berkata, 'Ya. Beliau melarang kami dari beristinja' dengan tangan kanannya atau menghadap kiblat, dan beliau juga melarang dari beristinja' dengan kotoran hewan dan tulang.' Beliau bersabda: "Janganlah salah seorang dari kalian beristinja' kurang dari tiga batu'."
Hadits tersebut diatas bahwa jawaban para sahabat kepada kaum musyrikin, menegaskan kepada kita; Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatunya tentang agama Allah ini al Islam, baik aqidahnya, ibadahnya, muamalahnya, adab-adab dan akhlaknya dan seterusnya bahkan adab buang air. Dan ini merupakan persaksian bahwa dari kaum musyrikan pada zaman itu tentang kesempurnaan Islam. Dan mereka pada waktu menjadi saksi-saksi hidup meskipun mereka tidak menyukainya dan membencinya.
(Lihat Kitab  Al-Masaail, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat Jilid I )
Islam Sudah Tidak Memerlukan lagi Tambahan-tambahan Syari’at Yang Baru
Agama Islam yang dinyatakan telah sempurna oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang tertuang dalam firmannya dalam Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 3 serta beberapa hadits yang telah disinggung diatas, maka dengan kesempurnaannta tersebut tidaklah diperlukan lagi adanya penambahan-penambahan atau mengada-adakan hal-hal yang baru berdasarkan keinginan hawa nafsu dan pemikiran yang menganggap apa saja yang baik itu boleh saja dilakukan dalam agama meskipun tidak ada termasuk dalam syari’at.
Apabila sementara ini ada pihak-pihak atau mereka-mereka yang memandang perlu memberikan penambahan atau mengada-adakan lagi hal-hal yang baru diluar syari’at yang telah ada, maka berarti mereka tersebut menganggap Islam tersebut belum sempurna. Dan lebih fatal lagi mereka yang menambahkan atau mengada-adakan hal-hal yang baru diluar syari’at telah secara tidak sadar telah mengangkat dirinya sebagai pembuat syari’at sehingga mereka tersebut dapat dikatagorikan sebagai pihak yang mempunyai kedudukan sebagai pembuat syari’at , yang dalam hal ini hanyalah Allah subhananu wa ta’ala dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Berdasarkan ayat dan hadits tentang kesempurnaan Islam, memberikan penjelasan kepada kita, bahwa agama kita ini ( al-Islam ) telah sempurna. Dan kesempurnaannyga itu meliputi :
Bahwa agama ini ( al Islam) telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan-tambahan dan pengurangan sedikitpun juga hatta ( meskipun) sekecil apapun juga. Meski apapun juga bentuk dan alasan nya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun dianggap baik atau dianggap besaroleh sedbagian manusia atyau dari siapa saja datangnya, adalah suatu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi sebaliknya sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, telah membantah firman Allah tersebut diatas. Atau telah menuduh Rasulullah shalallahu’alahi wsa sallam telah berhianat dan menyembunyikan di dalam menyampaikan risalah. Inilah yang pernah diperingatkan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah ta’ala di dalam salah satu perkataannya yang sangat terkenal sekali yaitu :
Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam islam, yang dia mengangpnya sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik ), maka sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Muhammad shallahu’alahi wa sallam telah berhianat di dalam ( menyampaikan ) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman : “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu”. Maka, apa-apa yang tidak menjadi (bagian dari ) agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi (bagian dari) agama pada hari ini ( lihat al I’tisham juz 1 hal.49 )
Alangkah bagus dan indahnya perkataan Imam Malik diatas dan ini merupakan kaidah besar yang samngat agung sekali di dalam agama Allah, bahwa “ apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu-yakni ketika turunnya ayat diatas, maka tidak akan menjadi agama pada hari ini, Yakni, apa-apa yang bukan ajaran islam pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi ajaran islam pada hari ini.( Lihat Kitab Al-Masaail, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat )
Menambahkan atau Mengada-adakan Hal-Hal Yang Baru Dalam Agama Adalah Perbuatan Bid’ah
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ) dalam penjelasan beliau tentang pengertian bid’ah, macam-macam bid’ah dan hukum-hukumnya mengemukakan bahwa “:
Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
[1] Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
[2] Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
[a]. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
[b]. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
[c]. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
[d]. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.
Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Catatan :
Orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid'ah adalah sesat".
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid'ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah) mengatakan tidak setiap bid'ah itu sesat, tapi ada bid'ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat", merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : "Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid'ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Shallallahu 'alaihi wa sallam pada shalat Tarawih : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", juga mereka berkata : "Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)", yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya".


P e n u t u p
Hari raya dalam Islam dikenal hanya 2 hari raya yaitu hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha sesuai dengan hadits yang shahih dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam. Mengingat bahwa hari raya dalam Islam merupakan bagian dari agama, maka Rasullullah melarang umatnya untuk menambah atau mengada-adakan perayaan selain dari dua hari raya tersebut ( Iedul Fithri dan Iedul Adha ). Dengan demikian apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat menyelenggarakan lebaran ( hari raya) ketupat selepas melakukan puasa sunnah 6 hari di bulan syawal merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kaidah syari’at, karena lebaran ( hari raya ) ketupat hanyalah sebuah  rekayasa tanpa didasari dalil dan itu merupakan perbuatan bid’ah.
Seyogyanya sebagai umat muslim kita harus berpegang dan berpatokan pada sunnah Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam. ( Wallaahu’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemahan, software Salafi-DB
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, software Lidwa Pusaka
3.Al-Masaail, Abdul Hakim bin Amir Abdat, jilid I Penerbit Darus sunnah
4. Risalah Bid’ah, Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darus sunnah
5Artikel My Paradise
6. Artikel Atsar As-Salaf
7.Artikel Tholib Wordpress.Cm
8.Artikel Blog Abu Abdurahman
9.Tribun Manado, Rabu 7 September 2011
10. Metro Post Balikpapan,26 Agustus 2012
Selesai disusun, ba’da ashar, Arba 11 Syawal 1433H/29 Agustus 2012
( Musni Japrie )

Minggu, 26 Agustus 2012

HALAL BI HALAL DITINJAU DARI SUDUT PANDANG SYARI'AT



Setelah berpuasa sebulan penuh di bulan ramadhan, masyarakat islam menyambut kedatangan 1 Syawal sebagai hari raya Idul Fitri dengan penuh sukacita dan kegembiraan. Khususnya untuk sebagian besar  masyarakat islam di Indonesia pasca penyambutan hari raya Idul Fitri  dilanjutkan dengan sebuah tradisi yang terus dilestarikan yaitu penyelenggarakan kegiatan halal bi halal diantara sesama komunitas. Saking populernya kegiatan acara halal bilhalal ini, maka sepertinya semua lapisan masyarakat tidak mau  ketinggalan dalam menyelenggarakannya. Dari berbagai kalangan dan profesi ,organisasi-organisasi kemasyarakatan, pihak perusahaan-perusahaan bahkan setiap instansi pemerintah di tingkat pusat sampai ketingkat  daerah yang paling terendah tidak pernah absen setiap tahun menyelenggarakan acara halal bi halal tersebut. Bahkan masjid dan langgar/surau juga menyemarakkan pelenyelenggaraan halal bi halal tersebut. Selain itu adapula yang menyelenggarakannya di hotel-hotel berbintang atau gedung—gedung pertemuan atau gedung olah raga, sesuai dengan banyaknya orang-orang yang diundang.
Acara halal bi halal biasanya diisi dengan ceramah yang berkaitan dengan hikmah halal bi halal yang diakhiri dengan saling bersalaman/berjabatan tangan diantara mereka yang hadir baik laki-laki maupun perempuan berbaur jadi satu. Dalam acara halal bilhalal ini tentunya tidak ketinggalan disediakan makanan serta hiburan berupa musik dan nyanyian-nyanyian dari para artis. Ujung-ujungnya penyelenggaraan acara halal bi halal ini tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Yang biasanya untuk intansi pemerintah terpaksa harus menggunakan dana yang sumbernya perlu dipertanyakan, karena anggaran pemerintah ( baik APBD maupun APBN ) tidak diperbolehkan  untuk menyediakan anggaran bagi kegiatan berbagaoi seremomnial yang tidak ada kaitannya langsung dengan tugas pemerintahan.
Banyaknya masyarakat muslim dari berbagai  kalangan, baik dari kalangan atas, menengah sampai masyarakat biasa  yang menyelenggarakan acara halal bi halal dikarenakan adanya anggapan masyarakat bahwa acara halal bi halal tersebut merupakan bagian dari hari raya Idul Fitri dimana pada kesempatan tersebut terjadi proses saling maaf memaafkan sebagaimana yang diperintahkan oleh agama.
Terkait dengan itu,mengemuka  pertanyaan apakah acara halal bi halal sebagaimana yang digambarkan tersebut diatas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hari raya Idul Fitri dan bagaimana tinjauannya dari kacamata agama apakah sesuain dengan syari’at ?
Dalam uraian yang dikemukakan secara sederhana berikut ini kita coba mengupasnya secara ringkas agar dapat dijadikan telahaan bagi kita semua.
Apa Itu Halal Bi Halal ?
Secara bahasa, halal-bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang hanya ada di  Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan du sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”
Salah seorang penulis menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fithri .Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bihalal menurut pandangan syariat.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.
Asal Muasal Tradisi Halal Bi Halal
Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama
  Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.
Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala  lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran Surat Ali Imran ayat 134).
Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya berasal dari bahasa Arab “ghafura”.
Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allahsubhanahu wa ta’ala. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah subhanahu wa ta’a;a bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka?
Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masingmasing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).
Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam.
Hari Raya Dalam Islam Harus Berlandaskan Kepada Dalil
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram (dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa ‘id adalah harus berlandaskan dalil. Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan.
وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْ عَةَ فِيْهَا، وَ مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ التَّعَبَّدِ تَدْ خُلُهَا الْبِدَ عَةُ
Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya
Dalil yang dijadikan dasar  dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :
1.Dalil dari sisi landasan penyelenggaraan,
Dalam islam hanya dikenal dua hari raya dalam satu tahun, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits :
عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال : قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ فيهِمَا، فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟، قالُوا : كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua hari ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani

Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i.
2. Dalil dari sisi tata cara pelaksanaannya
Mengingat bahwa  dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan-minum, berpakaian, bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariat.
Tidak Ada Satupun Dalil Yang Memerintahkan  Untuk Saling Bermaafan di Hari Raya
Mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain.
Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam telah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk meminta maaf sebagaimana sabda beliau :
صحيح البخاري ٦٠٥٣: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Shahih Bukhari 6053: dari Abu Hurairah radhilayyahu'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Barangsiapa yang memiliki kezhaliman terhadap saudaranya, hendaklah ia meminta dihalalkan, sebab dinar dan dirham (dihari kiamat) tidak bermanfaat, kezalimannya harus dibalas dengan cara kebaikannya diberikan kepada saudaranya, jika ia tidak mempunyai kebaikan lagi, kejahatan kawannya diambil dan dipikulkan kepadanya."
Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan,
Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Karena tidak ada satupun hadits dari Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam yang dapat dijadikan dalil untuk sandaran . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata.
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan.
Saling berjabatan tangan ( bersalam-salaman ) sambil meminta maaf diantara sesama muslim pada saat hari raya Idul Fitri sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian terbesar umat islam di negeri ini tiada lain hanyalah sebagai kebiasaan atau tradisi yang dianggap baik.
Acara Halal Bi Halal Perbuatan Tidak Ada Tuntunannya Dalam Agama
Mengingat bahwa saling maaf memaafkan satu sama lainnya sesama muslim pada hari raya Idul Fitri merupakan perbuatan yang mengada-ada karena tidak pernah dicontohkan sebelumnya oleh Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam dan oleh para sahabat, maka tentunya terkait dalam hal ini penyelenggaraan acara halal bi halal sebagai sarana untuk mengkordinir dilakukannya  kegiatan masal/berjamaah untuk saling  maaf memaafkan diantara orang-orang yang hadir termasuk perbuatan yang mengada-ada dalam agama ( bid’ah). Sedangkan perbuatan bid’ah merupakan hal yang dilarang dalam islam, sesuai dengan hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
سنن الترمذي ٢٦٠٠: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا حَدَّثَنَا بِذَلِكَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ وَالْعِرْبَاضُ بْنُ سَارِيَةَ يُكْنَى أَبَا نَجِيحٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ حُجْرِ بْنِ حُجْرٍ عَنْ عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
Sunan Tirmidzi 2600: dari Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al 'Irbadh bin Sariyah dia berkata; suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; 'seakan-akan ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta'at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham."
Bahwa sebagaimana kita ketahui bersama agama ini ( al Islam) telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan-tambahan dan pengurangan sedikitpun juga meski sekecil apapun juga. Meski apapun juga bentuk dan alasan nya dari tambahan-tambahan tersebut dianggap baik atau dianggap besar oleh sebagian manusia atau dari siapa saja datangnya, adalah suatu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi sebaliknya sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, telah membantah firman Allah tersebut diatas. Atau telah menuduh Rasulullah shalallahu’alahi wsa sallam telah berhianat dan menyembunyikan di dalam menyampaikan risalah. Inilah yang pernah diperingatkan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah ta’ala di dalam salah satu perkataannya yang sangat terkenal sekali yaitu :
“ Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam islam, yang dia mengangapnya sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik ), maka sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Muhammad shallahu’alahi wa sallam telah berhianat di dalam ( menyampaikan ) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman : “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu”. Maka, apa-apa yang tidak menjadi (bagian dari ) agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi (bagian dari) agama pada hari ini ( lihat al I’tisham juz 1 hal.49 )
Alangkah bagus dan indahnya perkataan Imam Malik diatas dan ini merupakan kaidah besar yang sangat agung sekali di dalam agama Allah, bahwa “ apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu-yakni ketika turunnya ayat diatas, maka tidak akan menjadi agama pada hari ini, Yakni, apa-apa yang bukan ajaran islam pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi ajaran islam pada hari ini.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ) dalam penjelasan beliau tentang pengertian bid’ah, macam-macam bid’ah dan hukum-hukumnya mengemukakan bahwa “:
Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak.
Sebagai umat islam yang sangat menjunjung  sosok Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam sudah sepatutnya untuk mentaati dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh beliau, antara lain untuk berpegang kepada sunnah beliau dan sunnahnya para sahabat, sesuaim dengan sabda beliau :
سنن الترمذي ٢٦٠٠: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا حَدَّثَنَا بِذَلِكَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ وَالْعِرْبَاضُ بْنُ سَارِيَةَ يُكْنَى أَبَا نَجِيحٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ حُجْرِ بْنِ حُجْرٍ عَنْ عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
Sunan Tirmidzi 2600: dari Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al 'Irbadh bin Sariyah dia berkata; suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; 'seakan-akan ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta'at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham."
Keta’atan kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam diwujudkan dengan mengikuti seluruh sunnah-nya, sedangkan yang enggan mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam termasuk orang yang membangkan yang tidak akan dapat memasuki surga, sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :
صحيح البخاري ٦٧٣٧: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Shahih Bukhari 6737: dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap umatku masuk surga selain yang enggan, " Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, lantas siapa yang enggan?" Nabi menjawab: "Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan siapa yang membangkang aku berarti ia enggan."
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan tentang seseorang yang tidak mau mematuhi ( membangkang) perintah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yaitu sewaktu makan diperintahkan oleh beliau agar menggunakan tangan kanan, tetapi orang tersebut membangkang karena kesombongan sehingga berakibat tangannya betul-betul tidak menyuap, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :

صحيح مسلم ٣٧٦٦: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ حَدَّثَنِي إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
Shahih Muslim 3766: dari 'Ikrimah bin 'Ammar; Telah menceritakan kepadaku Iyas bin Salamah bin Al Akwa'; Bapaknya telah menceritakan kepadanya, bahwa seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tangan kirinya, Lalu Rasulullah bersabda: "Makanlah dengan tangan kananmu! Dia menjawab; 'Aku tidak bisa.' Beliau bersabda: "Apakah kamu tidak bisa?" -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya
Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan dalam halal bi halal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan acara ini sudah menjadi penambahan syariat baru yang jelas tidak memilki landasan dalil syar’i. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang disyariatan Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya, jika terlepas dari pelanggaran-pelanggaran syariat, antara lain yang sudah kita sebutkan diatas.
Beberapa Pelanggaran Syariah Dalam Acara  Halal Bihalal
Penyelenggaraan acara halal bi halal dalam rangka untuk saling bermaaf maafan yang dianggap sebagai bagian dari perayaan hari raya Idul Fitri sebenarnya mengandung dan syarat dengan pelanggaran syari’ah, yang antara lain meliputi :
1.Tidak memiliki landasan dalil sehingga berseberangan dengan sunnah karena mengada-adakan urusan yang baru yang bukan bersumber dari syari’at sehingga disebut bid’ah
2.Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)
3.Ikhtilath (campur baur antar lawan jenis/laki-laki dan permepuan) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ « اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ ». فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ.
Dari Abu Usaid al-Anshari ia mendengar Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita: “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya.” Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka kepadanya”. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani)
4.Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal bihalalatau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadits berikut:عن مَعْقِل بن يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Dari Ma’qil bin Yasar ia berkata: Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Al-Albani berkata: “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya terkandung dalil haramnya menjabat tangan wanita, karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama.”
5.Adanya hiburan berupa musik dan nyayian yang diharamkan dalam islam sebagaimana Jumhur ulama mengharamkan nyanyian yang disertai alat musik. Hal itu telah menjadi kesepakatan imam empat.
a.  ’Utsman bin ’Affan radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
لَقَدِ اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا ، إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الإِسْلامِ ، وَمَا تَعَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ
Sungguh aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah orang keempat dari empat orang yang pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah bernyanyi dan berangan-angan.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab; hasan].
b.‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
الغناء ينبت النفاق في القلب
Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan-nya 10/223 dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98; Maktabah Sahab].
c.‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :
ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].
d.‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
الدف حرام ، والمعازف حرام ، والكوبة حرام ، والمزمار حرام
Duff itu haram, alat musik (ma’aazif) itu haram, al-kuubah itu haram, dan seruling itu haram” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 10/222; shahih].
e. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz rahimahullah.K
Al-Auza’i berkata :
كتب مع عمر بن عبد العزيز إلى ( عمر بن الوليد )  كتابا فيه "....و إظهارك المعازف والمزمار بدعة في الإسلام ، ولقد هممت أن أبعث إليك من يَجُزُّ جُمَّتك جمَّة سوء".
Umar bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menulis surat kepada ‘Umar bin Al-Waliid yang di diantaranya berisi : “….Perbuatanmu yang memperkenalkan alat musik merupakan satu kebid’ahan dalam Islam. Dan sungguh aku telah berniat untuk mengutus seseorang kepadamu untuk memotong rambut kepalamu dengan cara yang kasar” [Dikeluarkan oleh An-Nasa’i dalam Sunan-nya (2/178) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/270) dengan sanad shahih. Disebutkan juga oleh Ibnu ‘Abdil-Hakam dalam Siratu ‘Umar (154-157) dengan panjang lebar. Juga oleh Abu Nu’aim (5/309) dari jalan yang lain dengan sangat ringkas].
f. Abu Hanifah rahimahullah.
Ibnul-Jauzi berkata :
أخبرنا هبة الله بن أحمد الحريري عن أبي الطيب الطبري قال كان أبو حنيفة يكره الغناء مع إباحته شرب النبيذ ويجعل سماع الغناء من الذنوب قال وكذلك مذهب سائر أهل الكوفة إبراهيم والشعبي وحماد وسفيان الثوري وغيرهم لا أختلاف بينهم في ذلك قال ولا يعرف بين أهل البصرة خلاف في كراهة ذلك والمنع منه
Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah bin Ahmad Al-Hariry, dari Abuth-Thayyib Ath-Thabary ia berkata : “Adalah Abu Hanifah membenci nyanyian dan memperbolehkan perasan buah. Beliau memasukkan mendengar lagu sebagai satu dosa. Dan begitulah madzhab seluruh penduduk Kufah seperti Ibrahim (An-Nakha’i), Asy-Sya’bi, Hammad, Sufyan Ats-Tsauri, dan yang lainnya. Tidak ada perbedaan di antara mereka mengenai hal itu. Dan tidak diketahui pula perbedaan pendapat akan hal yang sama di antara penduduk Bashrah dalam kebencian dan larangan mengenai hal tersebut” [1] [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 205 – Daarul-Fikr 1421].
6. Membelanjakan uang untuk membiayai pelaksanaan acara halal bi halal dapat dikatagorikan  sebagai perbuatan bid’ah termasuk bentuk pemborosan karena termasuk menghambur-hamburkan bukan dalam jalan kebajikan.Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).
 Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros  dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/474-475). Coba jika serupiah disumbangkan atau dishodaqohkan untuk jalan kebaikan, apalagi di bulan suci Ramadhan yang pahala semakin berlipat? Mengapa orang tua lebih senang anaknya diberi petasan padahal bisa membahayakan diri daripada memanfaatkan uangnya untuk hal yang lebih bermanfaat seperti disisihkan untuk sedekah atau beri makan berbuka? Hanya Allah yang beri taufik.
Kesimpulan dan Penutup
Penyelenggaraan acara halal bi halal yang semarak di dalam bulan syawal dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh banyak undangan dengan agenda khusus untuk saling bermaaf-maafan diantara sesama yang hadir oleh sebagian kalangan dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hari raya Idul Fithri, sehingga sudah menjadi tradisi yang terus dilestarikan.
 Padahal asal muasal dari acara tersebut bersumber konon mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Apa yang diperbuat oleh Mangkunegara I tersebut selanjutnya diikuti oleh banyak orang. Sedangkan dari segi syari’at tentunya menyalahi karena tidak ada tuntunannya dari Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam, tidak satupun dalil yang dapat dijadikan rujukan tentang dianjurkannya menyelenggarakan acara halal bi halal. Sehingga dengan demikian ditinjau dari kacamata syari’at, perbuatan tersebut merupakan perbuatan mengada-ada atau yang dikenal dengan istilah bid’ah.
Mengingat penyelenggaraan acara halal bi halal merupakan perbuatan bid’ah maka wajib bagi kaum muslimin untuk meninggalkannya.
( Wallaahu’alam bishawab )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemahan, software Salafi-DB
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, software Lidwa Pusaka
3.Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009 M
4Artikel muslim.or.id
5.Artikel almanhaj.or.id
6.Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com
Selesai disusun ba’da ashar, Ahad 8 Syawal 1433H/26 Agustus 2012