Sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
diutus kepada jin dan manusia, selanjutnya manusia diperintahkan untuk beriman kepada Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam dan ittiba’ kepada beliau shallallâhu 'alaihi
wasallam. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan nikmat
yang besar bagi kaum Mukminin, sebagaimana Allâh Ta'âla berfirman :
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً
مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.(QS. Ali Imran : 164 )
Mengingat bahwa Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam sebagai pemb awa risalah yang menyelamatkan manusia dari kegelapan, maka
kewajiban bagi umat manusia khususnya kaum muslimin untuk mencintai beliau
karena dengan tidak adanya rasa cinta kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam belumlah disebutkan sebagai orang yang beriman. Hal ini ditegaskan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah ta’ala dari Abu
Hurairah radhyallahu’anhu :
صحيح البخاري ١٣: حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ
قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ
Shahih Bukhari 13: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman
berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib berkata, telah menceritakan
kepada kami Abu Az Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maka demi Zat yang jiwaku di
tangan-Nya, tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya
daripada orang tuanya dan anaknya".
Meskipun
banyak diantara kaum muslimin mengakui dan menyatakan cinta kepada
junjungan mereka Nabi Muhammad Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, tetapi
sangat disayangkan rasa cinta kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
tersebut diwujudkan oleh mereka dengan bentuk yang salah kafrah yang tidak
bersesuaian dengan syari’at serta petunjuk yang diberikan oleh Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam. Banyak diantara kalangan kaum muslimin mengaku
dan menyatakan mencintai Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam tetapi
perilaku mereka sehari-hari dalam melakukan amal ibadah jauh dari tuntunan
as-sunnah. Banyak diantara kalangan kaum muslimin yang terjatuh dan terjerat
dalam perbuatan bid’ah, karena tidak mau mempedomani perintah Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam yang tertuang dalam hadits-hadits yang shahih,
mereka lebih mempercayai dan taqlid kepada para tuan gurum ustadz dan kiayi
mereka yang merujuk kepada hadits-hadits yang dha’if bahkan ma’udhu.
Sejalan dengan itu dalam ulasan berikut ini
diungkapkan bagaimana seharusnya praktek-praktek yang dilakukan oleh kaum muslimin sebagai
bentuk perwujudan rasa cinta kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
dengan mencintai dan mengikuti sunnah beliau.
WAJIBNYA UMAT UNTUK ITTIBA’ (MENGIKUTI
) RASULLULLAH
Abu Bakar ash Shiddiq radhyallahu,anhu , seorang
sahabat yang dijamin oleh Allah masuk surga, mengatakan :
لَسْتُ تَارِكاً شَيْئاً كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ
عَمِلْتُ بِهِ ، فَإِنِّيْ أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئاً مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang Rasulullah lakukan
kecuali untuk aku amalkan, karena aku khawatir, jika aku tinggalkan perintah
Rasulullah, maka aku akan sesat. [HR Bukhari, no. 3093, dan diriwayatkan oleh Ibnu Baththah
dalam kitabnya, al Ibanah, I/245-246 no. 77]
Imam Abu Abdillah bin Ubaidillah bin Muhammad bin
Baththah yang wafat pada tahun 387H dalam kitabnya al Ibanah pada juz pertama,
berkata: “Wahai saudara-saudaraku, Abu Bakar ash Shiddiq, ash shiddiqul akbar,
beliau takut apabila kesesatan menimpa dirinya. Kalau dia menyalahi sesuatu
dari salah satu saja dari perintah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bagaimana nanti akan ada satu zaman, yang orang yang ada di zaman tersebut,
mereka memperolok-olok Nabi mereka, mereka memperolok-olok perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka berbangga menyalahi Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kita mohon kepada Allah dari
ketergelinciran, dan kita mohon keselamatan dari amal yang jelek”. [al Ibaanah,
I/246.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh (wafat th.
728 H) berkata:
”Kebahagiaan itu disebabkan karena mengikuti
petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Sedangkan kesesatan dan
celaka disebabkan menyalahi petunjuk Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya,
setiap kebaikan di alam semesta ini, baik yang sifatnya umum atau khusus,
sumbernya dari diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Begitu juga
semua kejelekan di alam semesta yang menimpa manusia, disebabkan
penyimpangannya terhadap petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan
tidak mengetahui apa yang dibawa beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bahwasanya kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia
dan akhirat disebabkan ittiba’ (mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam). Risalah kenabian dibutuhkan oleh seluruh makhluk. Kebutuhan
mereka kepada diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam di atas seluruh
kebutuhan. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan ruh
bagi alam semesta, cahaya dan kehidupan.” [4]
Beliau rahimahullâh juga berkata:
”Ar Risalah (diutusnya Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam) merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk memperbaiki
kehidupan seorang hamba dalam hidupnya ini di dunia dan juga kelak di akhirat.
Sebagaimana seorang hamba, dia tidak akan baik untuk kehidupan akhiratnya
melainkan dengan mengikuti risalah, yaitu risalah Nabi Muhammad shallallâhu
'alaihi wasallam. Sebagaimana juga seorang hamba, dia tidak akan baik dalam
kehidupan dunianya, melainkan dengan ittiba’ risalah. Sesungguhnya manusia
sangat membutuhkan agama ini, karena dia hidup di antara dua gerak; (yaitu)
gerak yang mendatangkan manfaat baginya dan gerak yang dapat menolak bahaya
baginya.
Ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang wajibnya
ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak.
Menurut Imam Ahmad, ada 33 ayat. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu
Fatawa (XIX/83), bahwa Allah telah mewajibkan taat kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sekitar 40 ayat dalam a Qur`an.
Ayat-ayat mulia dalam al Qur`an al Azhim yang
berkenaan dengan ittiba`, di antaranya :
1. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [ali Imran : 31].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H)
berkata,”Ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku
mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka orang tersebut dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti
syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
semua ucapan dan perbuatannya.
Karena itu Allah berfirman “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosamu”. Kalian akan mendapatkan apa yang kalian minta, dari
kecintaan kalian kepadaNya, yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih
besar daripada yang pertama, sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama. Yang
penting adalah, bukan bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian
dicintai oleh Allah.
Yang pertama kita mencintai Allah dan yang kedua
Allah mencintai kita. Menurut al Hafizh Ibnu Katsir, bahwa Allah mencintai kita
itulah yang paling besar, bagaimana supaya kita bisa dicintai oleh Allah. Setiap
kita bisa mencintai, namun tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk dapat
dicintai oleh Allah adalah dengan ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Imam Hasan Basri dan ulama salaf lainnya mengatakan,
sebagian manusia mengatakan mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan
ayat ini. Orang-orang munafik mengucapkan cinta kepada Allah dan RasulNya,
namun hatinya tidak demikian, karena mereka tidak mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Tafsir Ibnu Katsir, I/384, Cet. Daarus Salaam,
Th. 1413 H].
Ayat ini mengandung fadhilah (keutamaan) jika kita
mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu Allah akan mencintai
kita, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.
2. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah : “Taatilah Allah dan RasulNya. Jika kalian
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir’’.
[Ali Imran : 32].
Ayat ini mengandung makna, jika seseorang menyalahi
perintah RasulNya atau tidak berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka dia telah kufur; dan Allah tidak menyukai orang yang memiliki
sifat demikian, meskipun dia mengaku dan mendakwahkan kecintaannya kepada
Allah, sampai ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh
jin dan manusia wajib untuk ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, hingga seandainya Nabi Musa ditakdirkan hidup pada zaman Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia pun wajib ittiba’ kepada Nabi Muhammad.
Demikian juga dengan Nabi Isa ketika turun ke bumi pada akhir zaman nanti, maka
Nabi Isa wajib ittiba` kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian ini menunjukkan, bahwa seluruh manusia
wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnu Katsir,”Dan Rasulullah n diutus untuk seluruh makhlukNya,
baik golongan jin dan manusia. Kalau seandainya seluruh nabi dan rasul, bahkan
seluruh Ulul ’Azmi dari para rasul, mereka hidup pada zaman Rasulullah n, maka
mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti
syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsir Ibnu Katsir, I/384].
Sebagaimana yang terjadi pada zaman Umar bin
Khaththab, ketika itu beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang dan membaca lembaran
Taurat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ؟ وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةًً ، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ
شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا
بِهِ ، وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى كَانَ حَيّاً مَا وَسِعَهُ
إِلاَّأَنْ يَتَّبِعَنِيْ
“Apakah
engkau merasa ragu, wahai Umar bin Khaththab? Demi yang diri Muhammad ada di
tangan Allah, sungguh aku telah membawa kepada kalian agama ini dalam keadaan
putih bersih. Janganlah kalian tanya kepada mereka tentang sesuatu, sebab nanti
mereka kabarkan yang benar, namun kalian mendustakan. Atau mereka kabarkan yang
bathil, kalian membenarkannya. Demi yang diri Muhammad berada di tanganNya,
seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh bagi dia, melainkan harus
mengikuti aku”. [HR Ahmad, III/387; ad Darimi, I/115; dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam
Kitabus Sunnah, no. 50, dari sahabat Jabir bin Abdillah. Dan lafazh ini milik
Ahmad.
Hadits ini memuat kandungan :
Wajib bagi para nabi untuk ittiba’ kepada Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya mereka hidup pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Jika para nabi saja wajib berittiba’ kepada
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,, maka terlebih lagi bagi
kaum muslimin, mereka harus berittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam,.
Umar yang tidak diragukan keimanannya dan dijamin
pasti masuk surga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap menegur
ketika beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang kitab Taurat.
3 Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah (berhati-hati) orang-orang yang menyalahi
perintah Rasulullah, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
[an Nuur : 63].
Al Hafizh Ibnu Katsir menerangkan: “Menyalahi
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menyalahi jalan hidup
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manhaj (cara beragama), sunnah,
syariatnya. Maka seluruh perkataan dan seluruh amal, harus ditimbang dengan
perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang
sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka akan diterima oleh Allah. Dan apa yang tidak sesuai dengan perkataan dan
perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan ditolak oleh
Allah, siapapun yang melakukan perkataan dan perbuatan itu, serta apapun
perkataan dan perbuatan itu. Meskipun dia ulama, atau seorang yang alim, jika
perkataan dan perbuatannya menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia wajib ditolak dengan dasar hadits,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka
amalan tersebut tertolak.
Hendaknya berhati-hati orang yang menyelisihi
syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin. Mereka
akan ditimpa fitnah di dalam hatinya, berupa kekufuran, kemunafikkan dan
bid’ah, atau ditimpa dengan fitnah di dunia dengan dibunuh, diberi hukuman
haad, dipenjara atau yang lainnya.
Yang dimaksud “menyalahi perintah” adalah, menyelisihi
sunnah, jalan, manhaj, syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua
perkataan dan perbuatan kita, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang tidak berittiba’ kepada Rasulullah n,
mengingkarinya dan menolaknya, akan terjatuh pada kekufuran, baik kufur yang
besar (akbar) ataupun kufur yang kecil (ashghar), atau kemunafikan, atau
bid’ah; dan ini merupakan pengaruh dari perbuatan dosa dan maksiat; maksiat
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang besar
terhadap hati manusia, berupa kekufuran, kemunafikan, bid’ah; atau fitnah yang
besar di dunia, yaitu berupa ancaman dibunuh, diberi hukuman had ataupun di
penjara oleh Ulil Amri. [Tafsir Ibnu Katsir, III/338].
4. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [QS.al Ahzaab : 21].
Al Hafizh Ibnu Katsir mengatakan,”Ayat yang mulia
ini sebagai prinsip yang besar untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, baik perkataan, perbuatan dan segala keadaan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik berupa aqidah, syariah atau ibadah, akhlaq, dakwah,
politik atau yang lainnya. Kita wajib berittiba’, tidak hanya dalam hal ibadah
atau akhlaq beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi harus
menyeluruh.” [Tafsir Ibnu Katsir, III/522].
5. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat
dengan kesesatan yang nyata. [QS.al Ahzaab: 36].
Ayat ini berlaku umum untuk seluruh
kaum Mukminin terhadap setiap urusan mereka. Jika Allah dan RasulNya telah
memutuskan suatu ketetapan, maka wajib baginya untuk mendengar dan taat.
6. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ
ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [QS.an Nisaa’: 115].
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang wajibnya bagi
setiap kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak hanya dalam masalah ibadah, namun juga wajib berittiba’ dalam
masalah-masalah yang lain. Dengan ittiba’ ini, kita akan mendapatkan kemuliaan,
kebahagiaan dan kemenangan.
ITTIBA’ DENGAN MENGIKUTI AS-SUNNAH
Yang dimaksudkan dengan as-sunnah di sini bukanlah
sinonim dari kata mustahab atau sesuatu yang dianjurkan. Namun Sunnah di sini
berarti metode hidup dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga kata Sunnah mencakup hal-hal yang hukumnya wajib dan mustahab,
sebagaimana juga mencakup permasalahan akidah, ibadah, mu’amalah maupun akhlak.
Para ulama salaf berkata: “Sunnah berarti
mengamalkan al-Qur`an, hadits, serta mengikuti salafush sholih dan jejak
mereka.”
Ibnu Rojab rahimahullah berkata: “Sunnah adalah
jalan yang dititi, yang mencakup keyakinan, perbuatan dan perkataan, yang
menjadi pegangan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur
Rasyidin. Itulah sunnah yang sempurna. Tidaklah generasi salaf dahulu
memaksudkan kata Sunnah melainkan mencakup tiga hal di atas.” (Jami’ul ‘Ulum
wal Hikam hal. 28)
Sumber hukum Islam terdapat pada dua hal, al-Qur`an
dan as-Sunnah. Sunnah inilah yang merupakan petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan keduanya wajib dijadikan pegangan dalam mengarungi
bahtera kehidupan di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّيْقَدْتَرَكْتُفِيْكُمْمَاإِنِاعْتَصَمْتُمْبِهِفَلَنْتَضِلُّوْاأَبَدًاكِتَابَاللهِوَسُنَّةَنَبِيِّهِ.
Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu yang
bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat
selama-lamanya; yaitu kitabullah dan sunnah nabi-Nya. (Hadits shohih.
Shohih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 40)
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
dijadikan sebagai pegangan hidup para sahabat dahulu. Mereka selalu berjalan di
atas Sunnah, taat dan patuh dengan perintah yang ada di dalamnya. Mereka begitu
mengagungkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjaga dan membelanya
hingga rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Bila melihat seseorang yang
menyelishi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik sengaja atau tidak,
mereka langsung bersikap tegas kepadanya. Dengan demikian mereka menjaga
kemurnian Sunnah dari tangan kotor dan makar orang-orang jahat.
Demikianlah seterusnya perjalanan Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, serta
generasi-generasi setelahnya begitu perhatian dengannya dan sangat mencintainya
dengan kecintaan yang sebenarnya.
Nabi yang mulia shalallahu’alaihi wa sallam telah
bersabda ,
“ Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan
kamu kesurga dan menjauhkan kamu dari api neraka, melainkan sesungguhnya telah
dijelaskan kepada kamu “. Oleh karena itu barang siapa mencari jalan jannah
(surga) dan menjauhkan dirinya dari nar (neraka ) tanpa mengikuti al Kitab dan
as-Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menempuh jalan-jalan yang tidak pernah
dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hadits lain yang membicarakan tentang telah
sempurnanya Islam ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi dalam
kitab sunan-nya :
Dari Muththalib bin Hanthab : “Sesungguhnya
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda , “ Tidak aku tinggalkan
sesuatu /sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah perintahkan kepada kamu,
melainkan sesungguhnya aku perintahkan kepada kamu. Dan tidak aku tinggalkan
kepada kamu sesuatu/ sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah larang/cegah kamu
(mengerjakannSya), melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu dari
mengerjakannya
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774
H): Bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh
jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam
pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.”
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan
mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah
dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua
bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan
menjelaskan dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah mengagungkan Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya
mengamalkan Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menduduki kedudukan kedua setelah Al-Qur-anul Karim
dalam hal kewajiban mengagungkan dan mengamalkannya, sebab As-Sunnah merupakan
wahyu dari Allah.
LARANGAN MEMBUAT HAL-HAL YANG BARU
DALAM AGAMA KARENA MENYELISIHI SUNNAH RASUL
Agama Islam yang dinyatakan telah sempurna oleh
Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang tertuang dalam firmannya dalam
Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 3 serta beberapa hadits yang telah disinggung
diatas, maka dengan kesempurnaannta tersebut tidaklah diperlukan lagi adanya
penambahan-penambahan atau mengada-adakan hal-hal yang baru berdasarkan
keinginan hawa nafsu dan pemikiran yang menganggap apa saja yang baik itu boleh
saja dilakukan dalam agama meskipun tidak ada termasuk dalam syari’at.
Apabila sementara ini ada pihak-pihak atau
mereka-mereka yang memandang perlu memberikan penambahan atau mengada-adakan
lagi hal-hal yang baru diluar syari’at yang telah ada, maka berarti mereka
tersebut menganggap Islam tersebut belum sempurna. Dan lebih fatal lagi mereka
yang menambahkan atau mengada-adakan hal-hal yang baru diluar syari’at telah
secara tidak sadar telah mengangkat dirinya sebagai pembuat syari’at sehingga
mereka tersebut dapat dikatagorikan sebagai pihak yang mempunyai kedudukan
sebagai pembuat syari’at , yang dalam hal ini hanyalah Allah subhananu wa
ta’ala dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam
agama setelah agama ini sempurna. Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah
wa-fatnya Nabi shalallagu’alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal
perbuatan. Bila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan
atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya..” Asal kata bid’ah berarti
menciptakan tanpa contoh sebelumnya.
Dikemukan oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
dalam kitab beliau Al-Masaail bahwa berdasarkan ayat dan hadits tentang
kesempurnaan Islam, memberikan penjelasan kepada kita, bahwa agama kita ini (
al-Islam ) telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan-tambahan dan
pengurangan sedikitpun juga hatta ( meskipun) sekecil apapun juga. Meski apapun
juga bentuk dan alasan nya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun dianggap
baik atau dianggap besaroleh sebagian manusia atyau dari siapa saja datangnya,
adalah suatu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan
tetapi sebaliknya sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya
secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, telah
membantah firman Allah tersebut diatas. Atau telah menuduh Rasulullah shalallahu’alahi
wsa sallam telah berhianat dan menyembunyikan di dalam menyampaikan risalah.
Inilah yang pernah diperingatkan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah ta’ala
di dalam salah satu perkataannya yang sangat terkenal sekali yaitu :
“ Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam islam, yang dia
mengangpnya sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik ), maka sesungguhnya dia
telah menuduh bahwa Muhammad shallahu’alahi wa sallam telah berhianat di dalam
( menyampaikan ) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman : “Pada
hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu”. Maka, apa-apa yang tidak
menjadi (bagian dari ) agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi (bagian
dari) agama pada hari ini ( lihat al I’tisham juz 1 hal.49 )
Alangkah bagus dan indahnya perkataan Imam Malik
diatas dan ini merupakan kaidah besar yang samngat agung sekali di dalam agama
Allah, bahwa “ apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari
itu-yakni ketika turunnya ayat diatas, maka tidak akan menjadi agama pada hari
ini, Yakni, apa-apa yang bukan ajaran islam pada hari itu, niscaya tidak akan
menjadi ajaran islam pada hari ini.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan )
dalam penjelasan beliau tentang pengertian bid’ah, macam-macam bid’ah dan
hukum-hukumnya mengemukakan bahwa “:
Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya
haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah)
; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ
بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah
menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang
membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka
perkara itu tertolak".
Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah
haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
" Janganlah kamu
sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan
hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits
Riwayat Abu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ
بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari
'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang
tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ
وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ
قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari
'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami,
padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang
diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah
sesat dan tertolak. Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu
hukumnya haram.
Imam al-Barbahary Rahimahullah berkata: “Jauhilah
setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan
menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal
dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya
dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari
jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa
disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: “Tidak
boleh mengikuti pendapat seseorang ketika dihadapkan dengan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Kaum
muslimin telah bersepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak boleh ia meninggalkannya
karena adanya ucapan seseorang (selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
SERUAN & AJAKAN
Kepada seluruh kaum muslimin kami menghimbau dan
mengajak agar kita selalu mencintai Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
dengan sepenuh hati, ittiba’ kepada beliau dengan mengikuti sunnahnya serta
meninggalkan perbuatan mengada-adakan hal yang baru dalam agama ( bid’ah).
Dengan demikian kita akan selalu berada di jalan yang diridhai Allah subhanahu
wa ta’ala. ( Wallaahu’ta’ala a’lam )
Sumber
:
1.Al-Qur’an dan Terjemah, www. salafi-db.com
2.Ensiklopedi Kitab Hadits 9 imam, www. lidwapusaka.com
3. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim , Ibnu Katsir
4.Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al
-Bani
5. Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh
Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
6. Pengertian, Macam-macam dan Hukum Bid’ah, Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam artikel :
http://www.salafi-db.com
7. Al Masaa’il ( Masalah-masalah Agama) Abd.Hakim
bin Amir Abdat.
8. Risalah Bid’ah, Abd. Hakim bin Amir Abdat.
9.Buletin al-Iman
10. Kewajiban-ittiba kepada-rasulullah www.abangdani.wordpress.com
Selesai disusun ba’da dzuhur, Senin 28 Rabiul Akhifr
1434 H/11 Maret 2013.
( Penyusun : Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar