Setelah berpuasa sebulan penuh di bulan
ramadhan, masyarakat islam menyambut kedatangan 1 Syawal sebagai hari raya Idul
Fitri dengan penuh sukacita dan kegembiraan. Khususnya untuk sebagian besar masyarakat islam di Indonesia pasca
penyambutan hari raya Idul Fitri
dilanjutkan dengan sebuah tradisi yang terus dilestarikan yaitu
penyelenggarakan kegiatan halal bi halal diantara sesama komunitas. Saking
populernya kegiatan acara halal bilhalal ini, maka sepertinya semua lapisan
masyarakat tidak mau ketinggalan dalam
menyelenggarakannya. Dari berbagai kalangan dan profesi ,organisasi-organisasi
kemasyarakatan, pihak perusahaan-perusahaan bahkan setiap instansi pemerintah di
tingkat pusat sampai ketingkat daerah
yang paling terendah tidak pernah absen setiap tahun menyelenggarakan acara
halal bi halal tersebut. Bahkan masjid dan langgar/surau juga menyemarakkan
pelenyelenggaraan halal bi halal tersebut. Selain itu adapula yang
menyelenggarakannya di hotel-hotel berbintang atau gedung—gedung pertemuan atau
gedung olah raga, sesuai dengan banyaknya orang-orang yang diundang.
Acara halal bi halal biasanya diisi
dengan ceramah yang berkaitan dengan hikmah halal bi halal yang diakhiri dengan
saling bersalaman/berjabatan tangan diantara mereka yang hadir baik laki-laki
maupun perempuan berbaur jadi satu. Dalam acara halal bilhalal ini tentunya
tidak ketinggalan disediakan makanan serta hiburan berupa musik dan
nyanyian-nyanyian dari para artis. Ujung-ujungnya penyelenggaraan acara halal
bi halal ini tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Yang biasanya untuk
intansi pemerintah terpaksa harus menggunakan dana yang sumbernya perlu
dipertanyakan, karena anggaran pemerintah ( baik APBD maupun APBN ) tidak diperbolehkan untuk menyediakan anggaran bagi kegiatan
berbagaoi seremomnial yang tidak ada kaitannya langsung dengan tugas
pemerintahan.
Banyaknya masyarakat muslim dari
berbagai kalangan, baik dari kalangan
atas, menengah sampai masyarakat biasa
yang menyelenggarakan acara halal bi halal dikarenakan adanya anggapan masyarakat
bahwa acara halal bi halal tersebut merupakan bagian dari hari raya Idul Fitri
dimana pada kesempatan tersebut terjadi proses saling maaf memaafkan sebagaimana
yang diperintahkan oleh agama.
Terkait dengan itu,mengemuka pertanyaan apakah acara halal bi halal
sebagaimana yang digambarkan tersebut diatas merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan hari raya Idul Fitri dan bagaimana tinjauannya dari kacamata
agama apakah sesuain dengan syari’at ?
Dalam uraian yang dikemukakan secara
sederhana berikut ini kita coba mengupasnya secara ringkas agar dapat dijadikan
telahaan bagi kita semua.
Apa Itu Halal Bi Halal ?
Secara bahasa, halal-bihalal adalah kata
majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal.
Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun
pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah
justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan
kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar
dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran
harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika
sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau
minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya
“halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk
mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang hanya
ada di Indonesia, produk asli negeri
ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai
“hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan
du sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan
suatu kebiasaan khas Indonesia”
Salah seorang penulis menyebutkan bahwa
halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di
Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan
saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini
diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fithri .Kadang-kadang, acara
halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk
pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Halal bi halal dengan makna seperti di
atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian
penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas
bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia Namun
dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena
semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan
keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng
kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal
bihalal menurut pandangan syariat.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling
mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam
yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada
acara bermaaf-maafan di sana.
Asal Muasal Tradisi Halal Bi Halal
Konon, tradisi halal bi halal mula-mula
dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan
sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan
biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan
para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan
prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang
dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh
organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang
pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama
Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa
tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan
para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan
kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh
wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk
mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya
Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain
Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi
berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah
beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.
Menurut tuntunan ajaran Islam, saling
memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah
puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah
kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut.
Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala lebih
menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran Surat Ali
Imran ayat 134).
Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem”
kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem
bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku
utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua,
sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya
berasal dari bahasa Arab “ghafura”.
Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar
mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga
mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allahsubhanahu
wa ta’ala. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah subhanahu wa ta’a;a bisa
langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa
terhapus jika dia masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta
maaf kepada mereka?
Nah, di sinilah para ulama mempunyai
ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling
memaafkan kesalahan masingmasing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif
dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah
lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).
Dari uraian di muka dapat dimengerti,
bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur
budaya Jawa dan budaya Islam.
Hari Raya Dalam Islam Harus Berlandaskan Kepada Dalil
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah
bahwa semua ibadah haram (dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab
adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang
mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab
muamalah. Akan tetapi, masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang
ada menunjukkan bahwa ‘id adalah harus berlandaskan dalil. Hal ini karena ‘id
tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi
rahimahullah mengatakan.
وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ
لاَ بِدْ عَةَ فِيْهَا، وَ مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ التَّعَبَّدِ
تَدْ خُلُهَا الْبِدَ عَةُ
Sesungguhnya
adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari
sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya
Dalil yang dijadikan dasar dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :
1.Dalil dari sisi landasan
penyelenggaraan,
Dalam
islam hanya dikenal dua hari raya dalam satu tahun, sebagaimana yang disebutkan
dalam sebuah hadits :
عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال
: قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ
فيهِمَا، فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟، قالُوا
: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ
قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Anas
bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka
bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua hari ini? Mereka
menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa jahiliyah. Beliau
pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan dua hari yang lebih
baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud no. 1134 dihukumi shahih
oleh Al-Albani
Maka, sebagai bentuk pengamalan dari
hadits ini, pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal
umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini berbeda
dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan
yang tidak memiliki landasan syar’i.
2. Dalil dari sisi tata cara
pelaksanaannya
Mengingat bahwa dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat,
tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang
dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya
berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa
keleluasaan dalam makan-minum, berpakaian, bermain-main dan bergembira juga
tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariat.
Tidak Ada Satupun Dalil Yang Memerintahkan Untuk Saling Bermaafan di Hari Raya
Mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan
bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam
menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia
adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk
bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki
kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat
untuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain.
Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam
telah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk meminta maaf sebagaimana sabda
beliau :
صحيح البخاري ٦٠٥٣: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا
فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ
مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ
فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Shahih Bukhari 6053: dari Abu Hurairah radhilayyahu'anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Barangsiapa
yang memiliki kezhaliman terhadap saudaranya, hendaklah ia meminta dihalalkan,
sebab dinar dan dirham (dihari kiamat) tidak bermanfaat, kezalimannya harus
dibalas dengan cara kebaikannya diberikan kepada saudaranya, jika ia tidak
mempunyai kebaikan lagi, kejahatan kawannya diambil dan dipikulkan kepadanya."
Mengakhirkan permintaan maaf hingga
datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang
lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan
dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari
lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari
Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita
diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan,
Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk
bermaaf-maafan adalah penambahan syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil.
Karena tidak ada satupun hadits dari Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam
yang dapat dijadikan dalil untuk sandaran . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata.
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِي لِفعْلِه
عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ كَانَ مَصْلَحَةً
وَلَمْ يُفْعَلْ، يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
Maka
setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) merupakan sebuah
kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa
diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan.
Saling berjabatan tangan (
bersalam-salaman ) sambil meminta maaf diantara sesama muslim pada saat hari
raya Idul Fitri sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian terbesar umat islam di
negeri ini tiada lain hanyalah sebagai kebiasaan atau tradisi yang dianggap
baik.
Acara Halal Bi Halal Perbuatan Tidak Ada Tuntunannya Dalam Agama
Mengingat bahwa saling maaf memaafkan
satu sama lainnya sesama muslim pada hari raya Idul Fitri merupakan perbuatan
yang mengada-ada karena tidak pernah dicontohkan sebelumnya oleh Rasullullah
shallallahu’alahi wa sallam dan oleh para sahabat, maka tentunya terkait dalam
hal ini penyelenggaraan acara halal bi halal sebagai sarana untuk mengkordinir
dilakukannya kegiatan masal/berjamaah
untuk saling maaf memaafkan diantara
orang-orang yang hadir termasuk perbuatan yang mengada-ada dalam agama (
bid’ah). Sedangkan perbuatan bid’ah merupakan hal yang dilarang dalam islam,
sesuai dengan hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
سنن الترمذي ٢٦٠٠: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
حُجْرٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ
بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ
بْنِ سَارِيَةَ قَالَ
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ
مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ
فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
وَقَدْ رَوَى ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا حَدَّثَنَا بِذَلِكَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ
الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ
عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ
الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
وَالْعِرْبَاضُ بْنُ سَارِيَةَ يُكْنَى أَبَا نَجِيحٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ
عَنْ حُجْرِ بْنِ حُجْرٍ عَنْ عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
Sunan Tirmidzi 2600: dari Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al
'Irbadh bin Sariyah dia berkata; suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh wejangan yang sangat
menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka
seorang sahabat berkata; 'seakan-akan ini merupakan wejangan perpisahan, lalu
apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu)
bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta'at meskipun terhadap seorang budak
habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat
perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang
dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa
diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah
sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham."
Bahwa sebagaimana kita ketahui bersama agama
ini ( al Islam) telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan-tambahan dan
pengurangan sedikitpun juga meski sekecil apapun juga. Meski apapun juga bentuk
dan alasan nya dari tambahan-tambahan tersebut dianggap baik atau dianggap
besar oleh sebagian manusia atau dari siapa saja datangnya, adalah suatu
perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi
sebaliknya sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara
sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, telah membantah
firman Allah tersebut diatas. Atau telah menuduh Rasulullah shalallahu’alahi
wsa sallam telah berhianat dan menyembunyikan di dalam menyampaikan risalah.
Inilah yang pernah diperingatkan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah ta’ala
di dalam salah satu perkataannya yang sangat terkenal sekali yaitu :
“
Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam islam, yang dia mengangapnya sebagai
bid’ah hasanah (bid’ah yang baik ), maka sesungguhnya dia telah menuduh bahwa
Muhammad shallahu’alahi wa sallam telah berhianat di dalam ( menyampaikan )
risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman : “Pada hari ini Aku telah
sempurnakan bagi kamu agama kamu”. Maka, apa-apa yang tidak menjadi (bagian
dari ) agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi (bagian dari) agama pada
hari ini
( lihat al I’tisham juz 1 hal.49 )
Alangkah bagus dan indahnya perkataan
Imam Malik diatas dan ini merupakan kaidah besar yang sangat agung sekali di
dalam agama Allah, bahwa “ apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu-yakni
ketika turunnya ayat diatas, maka tidak akan menjadi agama pada hari ini,
Yakni, apa-apa yang bukan ajaran islam pada hari itu, niscaya tidak akan
menjadi ajaran islam pada hari ini.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan ) dalam penjelasan beliau tentang pengertian bid’ah, macam-macam
bid’ah dan hukum-hukumnya mengemukakan bahwa “:
Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam)
hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa
dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ
وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin
Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini
yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien
hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam:
"Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena
sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah
sesat". [Hadits Riwayat Abu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan
shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ
وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat
perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu
tertolak".
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ
مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ
بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu
yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal
itu tertolak."
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa
segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah
adalah sesat dan tertolak.
Sebagai umat islam yang sangat
menjunjung sosok Rasullullah
shallallahu’alahi wa sallam sudah sepatutnya untuk mentaati dan mengikuti apa
yang diperintahkan oleh beliau, antara lain untuk berpegang kepada sunnah
beliau dan sunnahnya para sahabat, sesuaim dengan sabda beliau :
سنن الترمذي ٢٦٠٠: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ
سنن الترمذي ٢٦٠٠: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ
مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ
فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
وَقَدْ رَوَى ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا حَدَّثَنَا بِذَلِكَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ
الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ
عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ
الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
وَالْعِرْبَاضُ بْنُ سَارِيَةَ يُكْنَى أَبَا نَجِيحٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ
عَنْ حُجْرِ بْنِ حُجْرٍ عَنْ عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
Sunan Tirmidzi 2600: dari Abdurrahman
bin Amru as Sulami dari al 'Irbadh bin Sariyah dia berkata; suatu hari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi wejangan kepada kami setelah
shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir
dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; 'seakan-akan ini
merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya
Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku
wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan
ta'at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara
kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah
oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu
merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu
hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi
geraham."
Keta’atan kepada Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam diwujudkan dengan mengikuti seluruh sunnah-nya,
sedangkan yang enggan mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam
termasuk orang yang membangkan yang tidak akan dapat memasuki surga, sesuai
dengan sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :
صحيح البخاري ٦٧٣٧: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Shahih Bukhari 6737: dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap umatku
masuk surga selain yang enggan, " Para sahabat bertanya, "Wahai
Rasulullah, lantas siapa yang enggan?" Nabi menjawab: "Siapa yang
taat kepadaku masuk surga dan siapa yang membangkang aku berarti ia
enggan."
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan
tentang seseorang yang tidak mau mematuhi ( membangkang) perintah Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam yaitu sewaktu makan diperintahkan oleh beliau agar
menggunakan tangan kanan, tetapi orang tersebut membangkang karena kesombongan
sehingga berakibat tangannya betul-betul tidak menyuap, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits :
صحيح مسلم ٣٧٦٦: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ حَدَّثَنِي
إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا
أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا
إِلَى فِيهِ
Shahih Muslim 3766: dari 'Ikrimah bin
'Ammar; Telah menceritakan kepadaku Iyas bin Salamah bin Al Akwa'; Bapaknya
telah menceritakan kepadanya, bahwa seorang laki-laki makan di samping
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tangan kirinya, Lalu Rasulullah
bersabda: "Makanlah dengan tangan kananmu! Dia menjawab; 'Aku tidak bisa.'
Beliau bersabda: "Apakah kamu tidak bisa?" -dia menolaknya karena sombong-.
Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya
Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan
bahwa yang dipermasalahkan dalam halal bi halal adalah pengkhususan
bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan acara ini sudah menjadi penambahan
syariat baru yang jelas tidak memilki landasan dalil syar’i. Jadi seandainya
perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri kosong
dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan
; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang disyariatan Islam di hari raya dan
batasannya merujuk ke adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya, jika
terlepas dari pelanggaran-pelanggaran syariat, antara lain yang sudah kita
sebutkan diatas.
Beberapa Pelanggaran Syariah Dalam Acara Halal Bihalal
Penyelenggaraan acara halal bi halal
dalam rangka untuk saling bermaaf maafan yang dianggap sebagai bagian dari
perayaan hari raya Idul Fitri sebenarnya mengandung dan syarat dengan
pelanggaran syari’ah, yang antara lain meliputi :
1.Tidak memiliki landasan dalil sehingga
berseberangan dengan sunnah karena mengada-adakan urusan yang baru yang bukan
bersumber dari syari’at sehingga disebut bid’ah
2.Mengakhirkan permintaan maaf hingga
datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain,
sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam
ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran”. Dan
jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari Raya Idul Fitri.
Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita diperintahkan
untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan
hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ
مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda:
“Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta
dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi
perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya,
dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan
diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)
3.Ikhtilath (campur baur antar lawan
jenis/laki-laki dan permepuan) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan
haram dan zina. Karenanya, Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- melarangnya,
seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ
فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ « اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ
الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ ». فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ
بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ.
Dari
Abu Usaid al-Anshari ia mendengar Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam-
berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita
di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita: “Mundurlah kalian, kalian
tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya.” Maka para
wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking
lekatnya mereka kepadanya”. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh
al-Albani)
4.Berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal
bihalalatau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam
hadits berikut:عن مَعْقِل بن يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ
خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”
Dari
Ma’qil bin Yasar ia berkata: Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda:
“Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari
besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR.
ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Al-Albani berkata: “Ancaman keras bagi
orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya terkandung
dalil haramnya menjabat tangan wanita, karena tidak diragukan lagi bahwa
berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam
kesalahan ini, bahkan sebagian ulama.”
5.Adanya hiburan berupa musik dan
nyayian yang diharamkan dalam islam sebagaimana Jumhur ulama mengharamkan
nyanyian yang disertai alat musik. Hal itu telah menjadi kesepakatan imam
empat.
a. ’Utsman bin ’Affan radliyallaahu ’anhu, ia
berkata :
لَقَدِ اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا
، إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الإِسْلامِ ، وَمَا تَعَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ
”Sungguh
aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah orang
keempat dari empat orang yang pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah
bernyanyi dan berangan-angan.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani
dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab; hasan].
b.‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu
‘anhu, ia berkata :
الغناء ينبت النفاق في القلب
“Nyanyian
itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa
dalam Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan-nya 10/223
dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98;
Maktabah Sahab].
c.‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma. Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :
ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم
رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu
kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki
yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah,
semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal.
209 – Daarul-Fikr 1421].
d.‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma, ia berkata :
الدف حرام ، والمعازف حرام ، والكوبة حرام
، والمزمار حرام
”Duff
itu haram, alat musik (ma’aazif) itu haram, al-kuubah itu haram, dan seruling
itu haram”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 10/222; shahih].
e. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz
rahimahullah.K
Al-Auza’i berkata :
كتب مع عمر بن عبد العزيز إلى ( عمر بن الوليد
) كتابا فيه "....و إظهارك المعازف والمزمار
بدعة في الإسلام ، ولقد هممت أن أبعث إليك من يَجُزُّ جُمَّتك جمَّة سوء".
‘Umar
bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menulis surat kepada ‘Umar bin Al-Waliid yang di
diantaranya berisi : “….Perbuatanmu yang memperkenalkan alat musik merupakan
satu kebid’ahan dalam Islam. Dan sungguh aku telah berniat untuk mengutus
seseorang kepadamu untuk memotong rambut kepalamu dengan cara yang kasar” [Dikeluarkan
oleh An-Nasa’i dalam Sunan-nya (2/178) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/270)
dengan sanad shahih. Disebutkan juga oleh Ibnu ‘Abdil-Hakam dalam Siratu ‘Umar
(154-157) dengan panjang lebar. Juga oleh Abu Nu’aim (5/309) dari jalan yang
lain dengan sangat ringkas].
f. Abu Hanifah rahimahullah.
Ibnul-Jauzi berkata :
أخبرنا هبة الله بن أحمد الحريري عن أبي الطيب
الطبري قال كان أبو حنيفة يكره الغناء مع إباحته شرب النبيذ ويجعل سماع الغناء من الذنوب
قال وكذلك مذهب سائر أهل الكوفة إبراهيم والشعبي وحماد وسفيان الثوري وغيرهم لا أختلاف
بينهم في ذلك قال ولا يعرف بين أهل البصرة خلاف في كراهة ذلك والمنع منه
“Telah mengkhabarkan kepada kami
Hibatullah bin Ahmad Al-Hariry, dari Abuth-Thayyib Ath-Thabary ia berkata : “Adalah Abu Hanifah membenci nyanyian dan
memperbolehkan perasan buah. Beliau memasukkan mendengar lagu sebagai satu
dosa. Dan begitulah madzhab seluruh penduduk Kufah seperti Ibrahim
(An-Nakha’i), Asy-Sya’bi, Hammad, Sufyan Ats-Tsauri, dan yang lainnya. Tidak
ada perbedaan di antara mereka mengenai hal itu. Dan tidak diketahui pula
perbedaan pendapat akan hal yang sama di antara penduduk Bashrah dalam
kebencian dan larangan mengenai hal tersebut” [1] [Talbis Ibliis oleh
Ibnul-Jauzi hal. 205 – Daarul-Fikr 1421].
6. Membelanjakan uang untuk membiayai
pelaksanaan acara halal bi halal dapat dikatagorikan sebagai perbuatan bid’ah termasuk bentuk
pemborosan karena termasuk menghambur-hamburkan bukan dalam jalan kebajikan.Padahal
Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ
كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan.”
(QS. Al Isro’: 26-27).
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat
manusia menjauhi sikap boros dengan
mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan
demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.”
Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam
jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang
menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru,
itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya
tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada
Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/474-475). Coba jika serupiah disumbangkan atau
dishodaqohkan untuk jalan kebaikan, apalagi di bulan suci Ramadhan yang pahala
semakin berlipat? Mengapa orang tua lebih senang anaknya diberi petasan padahal
bisa membahayakan diri daripada memanfaatkan uangnya untuk hal yang lebih
bermanfaat seperti disisihkan untuk sedekah atau beri makan berbuka? Hanya
Allah yang beri taufik.
Kesimpulan dan Penutup
Penyelenggaraan acara halal bi halal yang
semarak di dalam bulan syawal dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh banyak undangan
dengan agenda khusus untuk saling bermaaf-maafan diantara sesama yang hadir oleh
sebagian kalangan dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hari raya Idul
Fithri, sehingga sudah menjadi tradisi yang terus dilestarikan.
Padahal asal muasal dari acara tersebut
bersumber konon mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri
1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Apa yang diperbuat
oleh Mangkunegara I tersebut selanjutnya diikuti oleh banyak orang. Sedangkan
dari segi syari’at tentunya menyalahi karena tidak ada tuntunannya dari
Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam, tidak satupun dalil yang dapat
dijadikan rujukan tentang dianjurkannya menyelenggarakan acara halal bi halal.
Sehingga dengan demikian ditinjau dari kacamata syari’at, perbuatan tersebut
merupakan perbuatan mengada-ada atau yang dikenal dengan istilah bid’ah.
Mengingat penyelenggaraan acara halal bi
halal merupakan perbuatan bid’ah maka wajib bagi kaum muslimin untuk
meninggalkannya.
( Wallaahu’alam bishawab )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemahan, software
Salafi-DB
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam,
software Lidwa Pusaka
3.Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun
XIII/1430/2009 M
4Artikel muslim.or.id
5.Artikel almanhaj.or.id
6.Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com
Selesai disusun ba’da ashar, Ahad 8
Syawal 1433H/26 Agustus 2012
terima kasih atas informasinya, satu hal yang anda lupa dalam meberikan keterangan. saya termasuk sati diantara ribuan orang yang menganggap bahwa sebagaian besar yg anda uraiakan adalah benar namun saya berkeyakinan bahwa saya menganggap ini adalah adat dan buakan syariat semua orang jaga mklum akan hal itu. naumn informasi anda sangat berhatrga buat referensi dan semakin menguatkan keyakinan saya bahwa tradisi ini harus ttp kita lestarikan
BalasHapuspenulis memang banyak tahu tentang qur an dan hadist, tapi sayang... tidak tahu maknanya, yang dia tahu cuman artinya.... kasian.... kasian..., smoga Allah memeberikan petunjuk
BalasHapusisinya sama persis dengan artikel yg sudah pernah terbit sebelumnya
BalasHapushttps://muslim.or.id/6786-menyingkap-keabsahan-halal-bihalal.html