Sebagian besar umat islam Indonesia khususnya dari masyarakat
suku Jawa, selepas sepekan menyambut dan merayakan hari raya Iedul Fithri 1
Syawal kembali melakukan penyambutan dan
perayaan hari raya yang dikenal dengan sebutan lebaran (hari raya) ketupat dengan
menu khusus ketupat. Tetapi penyambutan
dan perayaan lebaran ( hari raya ) ketupat tersebut tidaklah semeriah
sebagaimana hari raya Iedul Fithri.
Perayaan dan penyambutan lebaran
( hari raya ) ketupat ini konon sudah lama berlansung dan dikenal di tanah air ini khususnya dikalangan
masyarakat pulau Jawa sebagai tradisi yang diwarisi turun temurun dari zaman
kerajaan.
Lebaran (hari raya)
ketupat dilakukan terkait dengan selesainya dilaksanakan dengan puasa sunnah 6
hari di bulan syawal yang tentunya hal ini berkaitan dengan masaalah agama.
Karena pelaksanaannya terkait dengan masaalah agama, maka timbul sebuah
pertanyaan apakah Lebaran (hari raya) ketupat tersebut memang disyari’atkan
dalam Islam.
Sehubungan dengan itu maka
dalam ulasan berikut ini dibahas mengenai lebaran (hari raya) ketupat tersebut ditinjau
dari sudut pandang kaca mata syari’at. Apakah lebaran (hari Raya ) ketupat
tersebut merupakan perbuatan mengada-ada atau apakah bersesuaian dengan sunnah.
Sekilas Tentang Hari Raya ( Lebaran ) Ketupat
Dalam sebuah artikel di
blog My Paradise ,Shodiqiel Hafily mengulas mengenai hari raya ketupat, yang
menurutnya :Hari raya ketupat, disebut juga lebaran ketupat, merupakan hari
raya ‘pamungkas’ dari serangkaian Idul Fitri. Hari raya ketupat inilah yang –
sesungguhnya – disebut lebaran (dari bahasa Jawa “lebar”, artinya rampung,
tuntas, selesai dan terbebas). Orang Jawa menyebutnya “riyoyo kupat”. Riyoyo
kupat, sejatinya merupakan penutupan dari ibadah puasa 6 hari Syawal yang
berakhir tanggal 7 jika dilakukan langsung-tunai dari tanggal 2 Syawal, maka
tanggal 8 adalah lebaran ketupat. Menilik asal muasal dari tradisi Jawa asli
ini, maka sesungguhnya riyoyo kupat adalah hari raya bagi orang yang melakukan
puasa sunnah 6 hari Syawal. Namun dalam prakteknya tidak demikian, selamatan
dengan menu utama ketupat disajikan tidak melulu pada tanggal 8 Syawal dan
tidak hanya dirayakan oleh yang berpuasa sunnah saja. Terjadi pergeseran nilai
dan tujuan dari awal ‘tasyri’nya’. Tidak masalah dan tidak ada salahnya
kapanpun orang berselamatan dengan ketupat atau bukan, sedekah yang ikhlas dan
baik tetap bernilai pahala.
Tradisi riyoyo kupat,
sebagaimana namanya, adalah murni tradisi Jawa. Tidak akan ditemukan di belahan
benua lain manapun. Demikian pula referensi tentang riyoyo kupat ini sulit
dicari di buku-buku. Filosofi kupat-lepet bersumber dari kalangan Islam Jawa
kuno yang dituturkan secara turun temurun dari kearifan para pinisepuh jaman
dulu dalam menanamkan nilai-nilai luhur ke-Islam-an dengan paduan kehalusan
budaya jawa dalam bermetafora.
Lebaran, sebagaimana
disebut di awal tulisan, berasal dari kata lebar dengan arti sudah rampung dari
puasa 6 hari Syawal dan sudah selesai bersilaturrahmi dengan sanak kerabat,
handai tolan dll. Sebagai ungkapan syukur dan harapan terkabulnya segala amal
ibadah, maka diadakan selamatan dengan menu utama kupat dan lepet. Kupat adalah
beras yang ditanak dalam bungkus anyaman daun kelapa muda yang di sebut janur.
Dipilihnya janur sebagai bungkus semata-mata sebagi tafa’ul (harapan terjadinya
sesuatu dengan penyimbolan tertentu) agar diberi penerangan cahaya. Janur
diarabkan menjadi ja’a nur (telah datang cahaya).
Kupat merupakan akronim
Jawa dari ngaku lepat (mengakui kekhilafan, kesalahan atau kekeliruan).
Sebagaimana kita maklumi bersama di pengajian-pengajian, mengakui kesalahan
merupakan dasar pokok dari taubat disamping meminta maaf dan menyesali
perbuatan. Dengan kupat, diharapkan akan enteng dan mudah bagi kita untuk
menyerap pelajaran mengakui kesalahan kita tanpa diribetkan oleh status
ke-AKU-an yang merupakan pangkal dari egoisme-kesombongan dan keangkuhan.
Ketupat kemudian
dipasangkan dengan lepet sebagai pelengkap. Lepet diartikan lekat (lengket),
dimaksudkan sebagai penyadaran bahwa manusia memang tidak terlepas dari
kesalahan. “Kullu bany Adam khattho’un wa khoyr al-khottho’in al-tawwabun”
(semua anak turun Adam [berpotensi] melakukakan kesalahan, dan sebaik-baik
orang yang salah adalah yang bertobat). Lepet dari bahan beras ketan dibungkus
janur juga, dicampur dengan sedikit biji kacang panjang kering. Biji kacang
yang hitam begitu mencolok dalam lepet dari beras ketan yang putih. Demikian
dalam kehidupan sehari-hari, manusia cenderung ‘meneropong’ kesalahan orang
lain. Dan, umumnya, kesalahan sulit dimaklumi diantara sekian banyak kebenaran
dan kebaikan. Dengan lepet ini diharapkan tumbuh sifat arif, dengan memaklumi
kesalahan yang terjadi di tengah-tengah pergaulan bermasyarakat. Fitrah manusia
itu cenderung pada yang baik dan yang benar. Hanya saja, entah karena apa, bisa
saja terjadi kesalahan dan itu menjadi sebuah catatan khusus tak terlupakan
tanpa mempertimbangkan sisi-sisi kebaikan dan kebenaran yang – sebenarnya –
jauh lebih dominan ketimbang kesalahan yang diperbuat seseorang.
Dengan saling menyadari
kesalahan, saling memaklumi dan saling memaafkan, langkah-langkah ke depan
menjadi lebih terarah oleh penerangan cahaya dan hidup menjadi damai dalam
kebersamaan. Kebersamaan inilah yang menjadi inti dari disyariatkannya shalat
berjamaah, haji dan jamaah-jamaah lainnya. Karena hanya dengan kebersamaan,
cita-cita besar dapat diwujudkan.
Menurut Muhammad Kyai
Wonopatih, imam masjid Al-Maghfirah, Reksonegoro, Bakdo Ketupat merupakan
warisan leluhur dari Jawa yang diwariskan oleh Sunan Bonang yang memiliki makna
lebar yang berarti dilaksanakan sesudah menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Lebur yaitu melebur dosa
dengan saling memaafkan atas segala salah dan khilaf, leber yang bermakna mempertegas
komitmen diri menyatu dengan masyarakat, dan luber yang berarti memperkaya
ikatan sosial untuk memajukan daerah. Bakdo Ketupat merupakan bentuk ukhuwah
islamiyah, wathoniyah, bashariyah/insaniyah
Mengaku bersalah
Menurut budayawan Djawahir
Muhammad seperti dikutip oleh harian Surya Merdeka, ketupat itu sebenarnya
melambangkan bahwa seseorang yang membawa ketupat itu ngaku ia manusia yang
lepat (keliru). Kesalahan manusia yang bermacam-macam itu tercermin pada
anyaman ketupat yang berselang-seling dan rumit.
Kalau ketupat kita belah,
tampaklah isinya yang berwarna putih. Nah, itulah cerminan hati yang putih
bersih dan suci setelah kita memohon ampun dari segala kesalahan. Bentuknya
yang indah itu juga melambangkan kesempurnaan setelah umat Muslim menuntaskan
ibadah puasanya selama sebulan.
Maka ketika kita
mengantarkan hidangan ketupat dan ubo rampe-nya kepada sanak keluarga dan
kerabat, secara simbolis kita menyatakan permohonan maaf sambil mengajak
bersilaturahmi. Indah, bukan?
Meskipun belum ditemukan
literatur yang menyebutkan secara jelas siapa dan kapan yang menemukan ketupat,
Sunan Kalijaga dipercaya sebagai tokoh yang pertama kalinya memperkenalkan
makanan nasi terbungkus daun muda pohon kelapa itu kepada masyarakat Jawa.
Beliau juga yang konon
memperkenalkan perayaan Bakda Kupat. Yang menarik, meski bagi kita di sini
ketupat itu identik dengan Hari Raya Idul Fitri, ternyata Bondan Winarno,
penulis dan pengamat kuliner, seperti dituturkannya, tidak menemukan ketupat di
salah satu negara Arab saat ia suatu hari berlebaran di sana.
Sementara itu, mari kita
saling mengantar ketupat, sambil membawa hati bersih yang siap saling memberi
maaf. Minal Aidin Walfaizin … maaf lahir dan batin. Selamat Hari Raya Idul
Fitri 1433 Hijriah
Hari Raya, Ibadah atau Adat?
Menurut Asy-Syaikh Salim
bin Sa’ad ath-Thowil hafidzohullahtidak Ada Hari Raya Kecuali Hanya Iedul
Fithri dan Iedul Adha
الحمد لله وحده والصلاة والسلام
على من لا نبي بعده، أما بعد:
Sesungguhnya hari raya
dinamakan Ied karena ia berulang dan kembali. Dan kata Ied dimutlakkan pada
tempat dan waktu yang manusia kembali kepadanya, sebagaimana dalam hadits yang
shohih adh-Dhohhak rodhiyallohu anhu berkata : Seseorang bernadzar di masa
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam untuk menyembelih unta di Bawwanah
–yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam
dan berkata : “aku bernadzar untuk menyembelih unta di Bawwanah”, Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “apakah di sana ada berhala jahiliyyah
yang disembah?”, mereka berkata : “tidak”, beliau bersabda : “apakah di sana
dilakukan perayaan hari raya mereka?”, mereka berkata : “tidak”, beliau
bersabda : “Tunaikanlah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nadzar
yang berupa maksiat kepada Alloh dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak
Adam.” [HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shohihain]
Dan hadits Anas radhiyallahu
anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersada :
قدمت المدينة ولأهل ا لمدينة
يومان يلعبون فيهما في الجاهلية وإن الله تعالى قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر
ويوم النحر
“Aku datang ke Madinah ketika
penduduknya memiliki dua hari yang mereka bermain-main pada dua hari itu pada
masa jahiliyyah, dan sesungguhnya Allah ta’ala telah mengganti keduanya untuk
kalian dengan yang lebih baik daripada keduanya : Iedul Fithri dan Iedul Adha.”
[HR Ahmad, Abu Dawud & an-Nasa’i]
Inilah dua hadits shohih
dan keduanya merupakan tonggak dalam memahami hukum-hukum seputar hari
raya-hari raya yang baru, yaitu hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adha.
Nabi shollallohu alaihi wa sallam ketika bertanya kepada seseorang dalam hadits
pertama tersebut tentang Bawwanah: “apakah di sana dilakukan perayaan hari raya
orang-orang musyrik?”, untuk mencari kejelasan sebelum mengizinkannya
melaksanakan nadzarnya atau tidak. Ketika beliau diberitahu bahwa hal tersebut
tidak ada, beliau membolehkan ia menunaikan nadzarnya. Dan sabda beliau
shollallohu alaihi wa sallam : “tidak boleh menunaikan nadzar yang berupa maksiat
kepada Alloh” menunjukkan bahwa menyepakati orang-orang musyrik dalam hari raya
mereka merupakan maksiat kepada Alloh tabaroka wa ta’ala.
Dan hadits yang kedua
–hadits Anas rodhiyallohu anhu- menunjukkan bahwa Nabi shollallohu alaihi wa
sallam memerintahkan mereka untuk melupakan hari-hari jahiliyyah yaitu hari
dimana mereka menang atas musuh-musuh mereka sehingga mereka bermain-main di
hari tersebut. Perhatikan kata “bermain-main”, mereka tidaklah merayakannya
dengan sholat atau ibadah, bahkan mereka bermain-main pada hari yang disebut
dengan “Yaumu Bu’ats” tersebut. Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang
mereka merayakan dua hari ini dan memberitahu mereka bahwa Alloh ta’ala telah
menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya; Iedul Fithri dan
Iedul Adha.
Betapa jauhnya orang-orang
pada masa sekarang dari Sunnah Nabi shollallohu alaihi wa sallam. Betapa
banyaknya mereka membuat-buat hari raya-hari raya bid’ah yang Alloh tidak
menurunkan penjelasannya. Dan kebanyakannya berupa ikut-ikutan kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani, atau mengikuti ahlul bida’ wal ahwa’, ataupun
yang tidak diketahui asal usulnya. Kemudian jika kita perhatikan dan kita pelajari,
kita akan mendapatkan bahwa makna hari raya dalam Islam tidak ada bandingannya
dengan hari raya-hari raya lainnya yang diada-adakan, yakni hari raya yang
syar’i merupakan waktu yang agung dan mulia yang memiliki makna yang besar;
setelah dilaksanakannya puasa, sholat, i’tikaf, membaca al-Qur’an, menghidupkan
lailatul qodr yang lebih baik dari seribu bulan, menyambung silaturahmi,
berbuka puasa, zakat fithri dan waktu-waktu lainnya yang mendekatkan diri kita
kepada Alloh, kaum muslimin berbahagia dengan ketaatan mereka kepada Robb
mereka, maka datanglah Iedul Fithri setelah ibadah-ibadah yang agung ini.
Adapun Iedul Adha, ia
adalah hari ke-sepuluh pada bulan Dzulhijjah, dan sepuluh hari pertama
Dzulhijjah yang Alloh telah bersumpah dengannya dalam firman-Nya :
وليال عشر
“Dan malam yang sepuluh”
[QS al-Fajr : 2]
Ia adalah hari-hari yang
paling agung dalam setahun, dan diantaranya ada hari ke-sembilan : hari Arofah,
yaitu hari terbaik yang matahari terbit padanya dimana para jama’ah haji wuquf
di Arofah dan Alloh dan para malaikatnya bangga terhadap mereka dan Allah
mengampuni siapa yang Dia kehendaki diantara mereka, dan orang-orang selain
jama’ah haji ketika itu melaksanakan puasa Arafah satu hari yang menghapus
dosa-dosa dua tahun, maka ketika mereka berada pada ketaatan kepada Allah azza
wa jalla, Allah mensyari’atkan kepada mereka Iedul
Adha agar mereka mengingat Alloh pada hari itu dan menyembelih binatang kurban
mereka untuk mendekatkan diri kepada Alloh dan mengagungkan syi’ar-syi’ar
Alloh. Maka mereka berhak untuk bergembira di hari raya mereka. Adapun hari
raya-hari raya yang lain tidak memiliki makna yang mulia ini.
Kita misalkan, seandainya
si fulan dilahirkan pada yang seperti hari ini, apakah perlu menjadikan setiap
hari dari hari-hari yang ada bersepakat dengannya dalam bergembira dan
bersenang-senang?
Jawabnya: tidak, hal ini
terjadi pada ummat ini ketika (agama) mereka lemah sehingga mereka mengikuti
ummat lainnya dan bodoh terhadap agamanya, la haula wa la quwwata illa billah.
Bahkan beberapa peristiwa menyedihkan dan menyakitkan pun diperingati, mereka
memperingati susah dan sedihnya mereka. Mengapa? Apakah Alloh yang
memerintahkan ini ?! ataukah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam yang
mensyariatkannya kepada kita?
Tidak ada hari raya
melainkan hanya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Dan janganlah engkau tertipu
dengan perkataan bahwa itu hanyalah peristiwa dan adat saja dan bukan ibadah,
sampai kalian katakan bahwa itu adalah bid’ah. Ceritakanlah kepada mereka
tentang “Yaumu Bu’ats” yang orang-orang dahulu bersenang-senang pada hari itu,
mengapa Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang mereka dan memberitahu bahwa
Alloh telah mengganti dengan yang lebih baik darinya, padahal mereka dahulu
bermain, bersenang-senang dan bergembira?!
Hari raya dalam Islam harus berlandaskan dalil (tauqifiy)
Hukum asal dalam bab
ibadah adalah bahwa semua ibadah haram sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab
adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang
mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab
mu’amalah. Tapi masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil menunjukkan
bahwa ‘id adalah tauqifiy (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak
hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Asy-Syathibi mengatakan:
وإن العاديات من حيث هي عادية
لا بدعة فيها، ومن حيث يُتعبَّد بها أو تُوْضع وضْع التعبُّد تدخلها البدعة.
“Dan
sungguh adat istiadat dari sisi ia adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi
dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya.”
Dan tauqifiy dalam perayaan
‘id memiliki dua sisi:
Tauqifiy dari sisi
landasan penyelenggaraan, di mana Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- membatasi
hanya ada dua hari raya dalam satu tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.عَنْ أَنَسِ
بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ
وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا
فِي الْجَاهِلِيَّةِ. قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا
خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ.
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam-
datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di
dalamnya. Maka beliau bertanya: “Apakah dua hari ini?” Mereka menjawab: “Dahulu
kami biasa bermain di dua hari ini semasa Jahiliyah.” Beliaupun bersabda:
“Sungguh Allah telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu
Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud no. 1134, dihukumi shahih oleh
al-Albani) Maka, sebagai bentuk pengalaman dari hadits ini, pada zaman Nabi
–shallallah ‘alaih wasallam- dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada
perayaan apapun selain dua hari raya ini berbeda dengan umat Islam zaman ini
yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki
landasan syar’i.
Tauqifiy dari sisi tata
cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi
juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang
dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya
berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa
keleluasaan dalam makan minum, berpakaian, bermain dan bergembira juga tetap
dibatasi oleh aturan-aturan syariah . ( Lihat artikel Ustadz Anas Burhanuddin
MA pada Blog Abu Abdurahman
Hukum Merayakan “LEBARAN KETUPAT”
Di antara perkara yang
diada-adakan (bid’ah) pada bulan Syawwal adalah bid’ah hari raya Al Abrar
(orang-orang baik) (atau dikenal dengan hari raya Ketupat.pent.), yaitu hari
kedelapan Syawwal.
Setelah orang-orang
menyelesaikan puasa bulan Ramadhan dan mereka berbuka pada hari pertama bulan
Syawwal -yaitu hari raya (iedul) fitri- mereka mulai berpuasa enam hari pertama
dari bulan Syawwal dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka
namakan iedul abrar (biasanya dikenal dengan hari raya Ketupat. Pent )
Syaikhul Islam lbnu
Taimiyah –Rahimahullah- berkata: “adapun membuat musim tertentu selain musim
yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awwal yang disebut malam
maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jum’at pertama
bulan Rajab, atau tanggal 8 Syawwal yang orang-orang jahil menamakannya dengan
hari raya Al Abrar ( hari raya Ketupat) ; maka itu semua adalah bid’ah yang
tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf. Wallahu Subhanahu
wata’ala a’1am.
Peringatan hari raya ini
biasanya dilakukan di salah satu masjid yang terkenal, para wanitapun
berikhtilat (bercampur) dengan laki-laki, mereka bersalam-salaman dan
mengucapkan lafadz-lafadz jahiliyyah tatkala berjabatan tangan, kemudian mereka
pergi ke tempat dibuatnya sebagian makanan khusus untuk perayaan itu. (lihat :
As Sunan wal mubtadi’at al muta’alliqah bil adzkar wassholawat karya Muhammad
bin Abdis Salam As Syaqiriy hal. 166)
(Kitab Al Bida’ Al
Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul Fadhilah
Riyadh, Hal. 350. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa’i)
Hari kedelapan dari
syawwal ini orang umum menamakannya sebagai Iedul Abrar (hari raya orang yang
baik) yaitu orang-orang yang telah puasa enam hari syawwal. Namun hal ini
adalah bid’ah. Maka hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk
orang baik (abrar) dan bukan pula bagi orang jahat (Fujjar).
Sesungguhnya ucapan mereka
(yaitu iedul abrar) mengandung konskwensi bahwa orang yang tidak puasa enam
hari dari syawwal maka bukan termasuk orang baik, demikian ini adalah keliru.
Karena orang yang telah menunaikan kewajibannya maka dia, tanpa diragukan
adalah orang yang baik walaupun tentunya sebagian orang kebaikannya ada yang
lebih sempurna dari yang lain.
Syari’at Islam Sangat Sempurna.
Berdasarkan riwayat yang
shahih bahwa pada saat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersama para kaum
muslimin sedang wukuf di padang Arafah dalam rangka menunaikan ibadah haji,
Rasullah shalallahu’alaihi wa sallam menerima wahyu yang berisi firman Allah
subhanahu wa ta’ala sebagai berikut :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ
مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ
ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ
لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [394], daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya [395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah [396],
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini [397]
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa [398]
karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. ( QS. Al Maidah: 3 )
Bertalian dengan ayat
tersebut Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsir Al-Qur’an Al-Azhim ,
khususnya mengenai firman-Nya Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu, Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, Maksudnya yaitu Islam,
Allah telah mengabarkan Nabi-Nya dan orang-orang yang beriman , bahwa Allah
telah menyempurnakan keimanan kepada mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan
penambahan samasekali. Dan Allah ta’ala telah menyempurnakan Islam, sehingga
Allah tidak akan pernah menguranginyha, bahkan Allah telah meridhainya,
sehingga Allah tidak akanb memurkainya selamanya.
Tentang telah sempurnanya
islam yang menyangkut seluruh urusan yang berkaitan dengan agama disinggung
pula dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad rahimahullah ta’ala dari Abu Dzar
radlyallahu’anhu :
مسند أحمد ٢٠٤٦٧: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ الْمُنْذِرِ الثَّوْرِيِّ
عَنْ أَشْيَاخٍ لَهُمْ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
لَقَدْ تَرَكَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يَتَقَلَّبُ فِي السَّمَاءِ طَائِرٌ إِلَّا
ذَكَّرَنَا مِنْهُ عِلْمًا
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا
فِطْرٌ عَنِ الْمُنْذِرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْمَعْنَى
Musnad Ahmad 20467: dari Abu Dzar berkata, "Rasulullah
Shallalahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan kami dan tiada burung yang terbang
kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitahukan tentang
ilmunya."
Maksud perkataan Abu Dzar
radlyallahu’anhu diatas ialah bahwa Rasulullah shalalla’u'alaihi wa sallam
telah menjelaskan kepada umatnya segala sesuatunya yang berhubungan dengan al
Islam, baik dalam, bab keimanan, ibadah, muamalat, adab dan akhlak,
kabarf-kabar, perintah-perintah dan larangan dan seterusnya. Untu itu Nabi yang
mulia shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda , “ Tidak tinggal sesuatupun
yang mendekatkan kamu kesurga dan menjauhkan kamu dari api neraka, melainkan
sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu “. Oleh karena itu barang siapa
mencari jalan jannah (surga) dan menjauhkan dirinya dari nar (neraka ) tanpa
mengikuti al Kitab dan as-Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menempuh
jalan-jalan yang tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hadits lain yang
membicarakan tentang telah sempurnanya Islam ini adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab sunan-nya :
Dari Muththalib bin
Hanthab : “ Sesungguhnya Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda , “ Tidak aku tinggalkan sesuatu
/sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah perintahkan kepada kamu, melainkan
sesungguhnya aku perintahkan kepada kamu. Dan tidak aku tinggalkan kepada kamu
sesuatu/ sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah larang/cegah kamu
(mengerjakannya), melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu dari
mengerjakannya “
Sebuah hadits yang
menggambarkan betapa hal yang kecilpun telah diajarkan oleh Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam kepada umatnya , sebagaimana hadits dibawah ini :
صحيح مسلم ٣٨٦: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ
وَمَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ
قَالَ
قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُونَ
إِنِّي أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ حَتَّى يُعَلِّمَكُمْ الْخِرَاءَةَ فَقَالَ
أَجَلْ إِنَّهُ نَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِيَمِينِهِ أَوْ يَسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةَ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالْعِظَامِ وَقَالَ لَا يَسْتَنْجِي أَحَدُكُمْ
بِدُونِ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
Shahih Muslim 386: dari Salman ( al Faarisyi) dia berkata,
"Kaum musyrikin berkata kepada kami, 'Sungguh, aku melihat sahabat kalian
(Rasulullah) mengajarkan kepada kalian hingga masalah adab beristinja', maka
dia berkata, 'Ya. Beliau melarang kami dari beristinja' dengan tangan kanannya
atau menghadap kiblat, dan beliau juga melarang dari beristinja' dengan kotoran
hewan dan tulang.' Beliau bersabda: "Janganlah salah seorang dari kalian
beristinja' kurang dari tiga batu'."
Hadits tersebut diatas
bahwa jawaban para sahabat kepada kaum musyrikin, menegaskan kepada kita;
Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya
segala sesuatunya tentang agama Allah ini al Islam, baik aqidahnya, ibadahnya,
muamalahnya, adab-adab dan akhlaknya dan seterusnya bahkan adab buang air. Dan
ini merupakan persaksian bahwa dari kaum musyrikan pada zaman itu tentang
kesempurnaan Islam. Dan mereka pada waktu menjadi saksi-saksi hidup meskipun
mereka tidak menyukainya dan membencinya.
(Lihat Kitab Al-Masaail, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Jilid I )
Islam Sudah Tidak Memerlukan lagi Tambahan-tambahan Syari’at
Yang Baru
Agama Islam yang
dinyatakan telah sempurna oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang
tertuang dalam firmannya dalam Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 3 serta beberapa
hadits yang telah disinggung diatas, maka dengan kesempurnaannta tersebut
tidaklah diperlukan lagi adanya penambahan-penambahan atau mengada-adakan
hal-hal yang baru berdasarkan keinginan hawa nafsu dan pemikiran yang
menganggap apa saja yang baik itu boleh saja dilakukan dalam agama meskipun
tidak ada termasuk dalam syari’at.
Apabila sementara ini ada
pihak-pihak atau mereka-mereka yang memandang perlu memberikan penambahan atau
mengada-adakan lagi hal-hal yang baru diluar syari’at yang telah ada, maka
berarti mereka tersebut menganggap Islam tersebut belum sempurna. Dan lebih
fatal lagi mereka yang menambahkan atau mengada-adakan hal-hal yang baru diluar
syari’at telah secara tidak sadar telah mengangkat dirinya sebagai pembuat
syari’at sehingga mereka tersebut dapat dikatagorikan sebagai pihak yang
mempunyai kedudukan sebagai pembuat syari’at , yang dalam hal ini hanyalah
Allah subhananu wa ta’ala dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Berdasarkan ayat dan
hadits tentang kesempurnaan Islam, memberikan penjelasan kepada kita, bahwa
agama kita ini ( al-Islam ) telah sempurna. Dan kesempurnaannyga itu meliputi :
Bahwa agama ini ( al
Islam) telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan-tambahan dan pengurangan
sedikitpun juga hatta ( meskipun) sekecil apapun juga. Meski apapun juga bentuk
dan alasan nya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun dianggap baik atau
dianggap besaroleh sedbagian manusia atyau dari siapa saja datangnya, adalah
suatu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi
sebaliknya sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara
sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, telah membantah
firman Allah tersebut diatas. Atau telah menuduh Rasulullah shalallahu’alahi
wsa sallam telah berhianat dan menyembunyikan di dalam menyampaikan risalah.
Inilah yang pernah diperingatkan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah ta’ala
di dalam salah satu perkataannya yang sangat terkenal sekali yaitu :
“ Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam
islam, yang dia mengangpnya sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik ), maka
sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Muhammad shallahu’alahi wa sallam telah
berhianat di dalam ( menyampaikan ) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah
berfirman : “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu”. Maka,
apa-apa yang tidak menjadi (bagian dari ) agama pada hari itu, niscaya tidak
akan menjadi (bagian dari) agama pada hari ini ( lihat al I’tisham juz 1
hal.49 )
Alangkah bagus dan
indahnya perkataan Imam Malik diatas dan ini merupakan kaidah besar yang
samngat agung sekali di dalam agama Allah, bahwa “ apa-apa yang tidak menjadi
agama pada hari itu-yakni ketika turunnya ayat diatas, maka tidak akan menjadi
agama pada hari ini, Yakni, apa-apa yang bukan ajaran islam pada hari itu,
niscaya tidak akan menjadi ajaran islam pada hari ini.( Lihat Kitab Al-Masaail,
Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat )
Menambahkan atau Mengada-adakan Hal-Hal Yang Baru Dalam Agama
Adalah Perbuatan Bid’ah
Syaikh Shalih bin Fauzan
bin Abdullah Al-Fauzan ) dalam penjelasan beliau tentang pengertian bid’ah,
macam-macam bid’ah dan hukum-hukumnya mengemukakan bahwa “:
Perbuatan bid'ah di dalam
Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi
(tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
:
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ
مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ
رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin
Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini
yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Bid'ah Dalam Ad-Dien
(Islam) Ada Dua Macam :
[1] Bid'ah qauliyah
'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti
ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan
mereka.
[2] Bid'ah fil ibadah :
Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak
disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian
yaitu :
[a]. Bid'ah yang berhubungan
dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada
dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak
disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar
yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain
sebagainya.
[b]. Bid'ah yang bentuknya
menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat
kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
[c]. Bid'ah yang terdapat
pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak
disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara
berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri)
dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam
[d]. Bid'ah yang bentuknya
menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh
syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal
15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan
qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan
waktu memerlukan suatu dalil.
Segala bentuk bid'ah dalam
Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam:
"Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan
urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah
bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abu Daud, dan
At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ
مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ
رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari
'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang
tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Dan dalam riwayat lain
disebutkan :
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا
أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ
جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي
عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu
yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal
itu tertolak."
Maka hadits tersebut
menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah,
dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid'ah di
dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Catatan :
Orang yang membagi bid'ah
menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah syayyiah (jelek) adalah salah dan
menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya :
Sesungguhnya setiap bentuk bid'ah adalah sesat".
Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid'ah itu adalah
sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah) mengatakan tidak setiap bid'ah itu
sesat, tapi ada bid'ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab
mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat",
merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang
keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang
senada dengan sabdanya : "Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang
bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap orang yang
mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada
dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam
berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau
perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.
Dan mereka itu tidak mempunyai
dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid'ah itu ada yang baik, kecuali
perkataan sahabat Umar Shallallahu 'alaihi wa sallam pada shalat Tarawih :
"Sebaik-baik bid'ah adalah ini", juga mereka berkata :
"Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)", yang tidak
diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab,
juga penulisan hadits dan penyusunannya".
P e n u t u p
Hari raya dalam Islam
dikenal hanya 2 hari raya yaitu hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha sesuai
dengan hadits yang shahih dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Mengingat bahwa hari raya dalam Islam merupakan bagian dari agama, maka
Rasullullah melarang umatnya untuk menambah atau mengada-adakan perayaan selain
dari dua hari raya tersebut ( Iedul Fithri dan Iedul Adha ). Dengan demikian
apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat menyelenggarakan lebaran ( hari
raya) ketupat selepas melakukan puasa sunnah 6 hari di bulan syawal merupakan
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah syari’at, karena lebaran ( hari raya )
ketupat hanyalah sebuah rekayasa tanpa
didasari dalil dan itu merupakan perbuatan bid’ah.
Seyogyanya sebagai umat muslim
kita harus berpegang dan berpatokan pada sunnah Rasullullah shallallahu’alahi
wa sallam. ( Wallaahu’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan
Terjemahan, software Salafi-DB
2.Ensiklopedi Hadits Kitab
9 Imam, software Lidwa Pusaka
3.Al-Masaail, Abdul Hakim
bin Amir Abdat, jilid I Penerbit Darus sunnah
4. Risalah Bid’ah, Abdul
Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darus sunnah
5Artikel My Paradise
6. Artikel Atsar As-Salaf
7.Artikel Tholib
Wordpress.Cm
8.Artikel Blog Abu
Abdurahman
9.Tribun Manado, Rabu 7
September 2011
10. Metro Post
Balikpapan,26 Agustus 2012
Selesai disusun, ba’da
ashar, Arba 11 Syawal 1433H/29 Agustus 2012
( Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar