Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah
melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh
Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu
kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi).
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia
maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan
maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam
sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri
kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori:
6502)
Puasa
Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah
berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini
mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh
bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di
bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun
penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR.
Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi
rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini
terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang
sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal
yang dianjurkan.”
Dilakukan
Setelah Iedul Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak
boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin
Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang
berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan
hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq
‘alaih)
Apakah
Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih
Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut
langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan
tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih
mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah
pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak,
baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih
utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang
anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka
berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits
tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang
menunjukkan selang waktu yang tidak lama.
Mendahulukan
Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa
(qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan?
Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan
sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban
kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif,
“Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan
qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari
beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”.
Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam
Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di
atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang
yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu
a’lam bish showab.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar