Di antara amalan yang menyempurnakan
puasa kaum muslimin di bulan yang penuh barokah ini adalah zakatul fithr. Zakat
ini disebut demikian karena ia wajib ditunaikan pada saat kaum muslimin berbuka
(menyelesaikan ibadah puasanya di bulan Ramadhan). Oleh karenanya disebut pula
sebagai shodaqoh Ramadhan.
Menunaikan Zakat Fithri
Sebagian para ulama menukilkan ijma’
(kesepakatan) ulama tentang wajibnya menunaikan zakat ini. Dan ini adalah
pendapat yang rajih/ kuat meskipun pada kenyataannya ada beberapa ulama yang
menyatakan sunnahnya zakat fithri ini. Di antara yang memperkuat pendapat
sebagian besar para ulama adalah hadits dari Ibnu ‘Umar Radiyallahu ‘anhu
bahwa: “Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri
(ketika Ramadhan berakhir) bagi setiap orang merdeka atau budak, lelaki atau
perempuan, yang besar maupun kecil dari kalangan muslimin berupa kurma (tamr)
atau gandum sebanyak 1 sha’. Dan beliau memerintahkan agar zakat ini ditunaikan
sebelum kaum Muslimin keluar menuju lapangan (untuk menunaikan) sholat Ied.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Yang pasti, Allah Ta’ala mensyariatkan
ibadah ini karena mempunyai keutamaan dan hikmah yang besar.Maka di antara
hikmah dari zakat fithri adalah:
1. Sebagai pembersih bagi orang-orang
yang berpuasa di bulan Ramadhan, menyempurnakan kekurangan pahala puasanya di
bulan Ramadhan oleh karena perbuatan sia-sia/ dosa.
2. Sebagai bentuk rasa syukur yang
ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, setelah mampu menyelesaikan ibadah
Ramadhan dengan baik.
3. Mempererat ukhuwwah antara kaum
muslimin, di mana dengan pemberian zakat ini akan terjalin hubungan yang baik
antara dhu’afa dan aghniya. Kaum dhu’afa tak lagi disibukkan dengan kerja keras
banting tulang bahkan kadang terpaksa mengemis untuk memperoleh makanan yang
akan dimakannya pada saat Idul Fithri. Dengan demikian mereka akan turut
bergembira dan merasakan kemenangan di hari tersebut.
Demikianlah di antara hikmah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam
Fathul Baari (III/369) berkata: “Zakat Fithri diwajibkan untuk orang yang
berpuasa dan juga orang yang tidak berpuasa sebagaimana hal ini telah diketahui
keshahihannya. Demikian pula orang yang baru masuk Islam sesaat sebelum
terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia pun terkena kewajiban
menunaikannya.”
Dengan apa zakat fithri dibayarkan?
Dari hadits di atas kita ketahui bahwa
zakat fithri adalah dengan memberikan gandum dan tamr (kurma) seberat 1 sha’.
Lalu apakah terbatas hanya pada dua jenis makanan ini? Maka pertanyaan ini akan
terjawab dengan hadits marfu’ (sanadnya sampai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam) yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry bahwasanya dia berkata:
“Kami dahulu memberikan zakat fithri di masa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam seukuran
1 sha’ makanan atau 1 sha’ kurma atau 1 sha’ gandum atau 1 sha’ aqith (susu
kambing yang dipanaskan hingga berbusa lalu diambil saripatinya dan dibiarkan
hingga mengeras) atau 1 sha’ anggur kering.”
Ternyata dalam dua hadits ini, tidak
kita dapati penyebutan beras atau sagu sebagai bahan makanan pokok di negeri
ini. Sehingga apakah kita harus mencari bahan-bahan yang tersebut dalam dua
hadits di atas untuk membayar zakat fithri kita?
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh
Allah, pendapat yang paling masyhur di dalam madzhab Hanbali (madzhabnya
pengikut Imam Ahmad ibnu Hanbal) adalah pendapat bahwa membayar zakat dengan
bahan-bahan selain yang disebutkan dalam dua hadits di atas adalah tidak sah.
Akan tetapi pendapat ini, wallahu a’lam, adalah pendapat yang marjuh/ lemah.
Sebab dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Sa’id Al-Khudry mengatakan: “Kami (para sahabat Nabi) memberikan zakat fithri
di masa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam berupa 1 sha’ makanan.” Abu Sa’id
Al-Khudry berkata: “Dan makanan kami pada saat itu adalah gandum, anggur
kering, dan aqith.”
Riwayat ini menunjukkan bahwa makanan
yang dibayarkan adalah makanan pokok yang paling banyak dibutuhkan oleh
penduduk suatu negeri. Dan ini adalah pendapat ulama dari madzhab Malikiyyah
dan Syafi’i dan diriwayatkan pula dari Imam Ahmad, serta dibenarkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’iy
rahimahullah ta’ala.
Syaikh Abdullah ibnu Abdirrahman ibnu
Shalih Al-Bassam dalam Taisirul ‘Allam – keterangan beliau terhadap kitab
Umdatul Ahkam – (I/404) mengatakan: “Bahan makanan yang paling utama untuk
zakat fithri (dari bahan-bahan makanan yang ada) adalah bahan makanan pokok
yang paling dibutuhkan oleh kaum muslimin (faqir dan miskin) setempat.”
Sehingga di Indonesia, bahan makanan yang paling baik untuk zakat fithri adalah
beras. Wallahu a’lam.
Berapa ukurannya?
Dalam masalah ini, para ulama berbeda
pendapat. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa ukuran (takaran) 1 sha’
adalah sha’ nabawy (seukuran 4 mud yang ditakar dengan dua tangan Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam). Dan apabila dikonversikan ke satuan timbangan
(berat) maka 1 sha’ nabawy setara dengan 2040 (dua ribu empat puluh) gram atau
2,04 kg. Wallahu a’lam.
Bolehkah menggantikan bahan pokok dengan
uang yang senilai?
Al-Imam An-Nawawy menukilkan dalam
Syarah Muslim (VII/53) bahwa seluruh ulama (kecuali Abu Hanifah) tidak
membolehkan zakat fithri yang dibayarkan dengan uang. Dan inilah yang rajih/
kuat berdasarkan beberapa hal:
1. Hadits tentang zakat fithri
menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mensyariatkan zakat
ini untuk ditunaikan dalam bentuk makanan.
2. Amalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam dan sahabatnya menunjukkan bahwa mereka selalu menunaikan zakat ini
berupa makanan, padahal kita mengetahui bahwa di masa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam pun telah beredar uang dinar dan dirham. Namun beliau dan para
sahabatnya tetap menunaikan zakat dengan bahan makanan, tidak dengan dinar dan
dirham.
Siapa yang harus dibayarkan zakatnya ?
Setiap kaum muslimin (laki-laki dan
perempuan) harus membayar zakatnya masing-masing jika dia memiliki kemampuan
untuk membayarnya. Sehingga seorang wanita atau anak kecil yang memiliki harta
harus menunaikan dengan hartanya. Adapun bila dia tidak memiliki harta maka
yang harus membayar adalah orang yang menanggung nafkahnya kalau dia memiliki
sesuatu yang lebih dari apa yang harus ia nafkahkan kepada orang-orang yang
berada di bawah tanggungannya pada malam Ied dan esoknya.
Bila dia tidak memiliki sesuatu kecuali
apa yang harus dia nafkahkan untuk tanggungannya maka tidaklah wajib baginya
untuk membayar, sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama. Adapun hamba sahaya,
maka wajib bagi tuannya untuk membayar zakat budak tersebut berdasarkan hadits
dari Abu Hurairah: “Tidak ada kewajiban untuk membayarkan shodaqoh seorang
hamba sahaya kecuali zakat fithri.” (HR. Muslim).
Kepada siapa zakat fithri diberikan ?
Zakat fithri diberikan kepada yang
berhak menerimanya. Mereka adalah orang-orang faqir dan miskin.
Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu
meriwayatkan: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri,
pensuci bagi orang yang puas dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi)
makanan bagi orang yang miskin.”
Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Majmu’ Fatawa (II/71-78)
serta Ibnul Qoyyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad (II/44).
Lalu mengapa zakat fithri ini tidak
disalurkan kepada 8 golongan ?
Sebagian para ulama menganggap bahwa
zakat fithri disalurkan kepada 8 golongan. Mereka meng-qiyas-kannya dengan
zakatul maal yang memang diberikan kepada 8 golongan sesuai dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 60. Namun qiyas ini tidaklah
dibenarkan. Karena dalil dari Al-Qur’an ini adalah dalil yang bersifat umum.
Sedangkan untuk zakat fithri adalah dalil khusus yaitu hadits Ibnu Abbas yang
telah disebut di atas.
Bolehkah membentuk kepanitiaan untuk
zakat fithri?
Di antara sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam dalam penunaian zakat fithri adalah pembentukan panitia khusus
yang menerima zakat fithri dari kaum muslimin serta menyalurkannya kepada yang
berhak menerima. Beliau telah mencontohkan hal ini di masa hidupnya.
Diceritakan oleh Abu Hurairah: “Rasulullah memberitahukan kepadaku agar aku
mengurus zakat Ramadhan.”
Ibnu Khuzaimah (dalam kitab [IV/83])
mencantumkan satu riwayat dari Abdul Warits dari Ayyub bahwasanya Ibnu Umar
pernah menyalurkan zakat fithri melalui panitia yang dibentuk oleh pemerintah
muslimin satu atau dua hari sebelum Idul Fithri. Abdul Warits bertanya kepada
Ayyub: “Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu sha’ (zakat fithri)?” Ayyub
menjawab: “Setelah panitia mulai bertugas.” Abdul Warits bertanya lagi:
“Kapankah panitia itu mulai bertugas?” Maka beliau menjawab: “Satu atau dua
hari sebelum Idul Fithri.”
Kapan zakat fithri ditunaikan?
Ia harus ditunaikan (disampaikan kepada
yang berhak) sebelum kaum muslimin keluar menuju tanah lapang untuk
melaksanakan shalat Ied. Dan para ulama sepakat bahwa ia tidak boleh ditunda
sama sekali. Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar ra: “Bahwa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam memerintahkan kum muslimin untuk membayarkan zakatnya sebelum
keluarnya mereka untuk menjalankan shalat Ied.”
Adapun memajukannya satu atau dua hari
sebelum Iedul Fithri, maka hal ini diperbolehkan, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh para sahabat berdasarkan riwayat dari Al-Bukhari dari Ibnu Umar
Radiyallahu ‘anhu. Dan Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu meriwayatkan suatu hadits
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa menunaikan
zakat fithri sebelum shalat ied maka ia adalah zakat yang diterima. Dan
barangsiapa yang menunaikannya setelah dilakasanakan shalat iedul fithri maka
ia dianggap sebagai salah satu jenis shodaqoh saja dan zakatnya tidak
diterima.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lainnya dengan sanad yang hasan).
Demikianlah beberapa hal yang berkaitan
dengan ibadah zakat fithri. Oleh sebab itu, kami mengajak segenap kaum muslimin
untuk menunaikan zakat fithri sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyempurnakan pahala ibadah puasa kita di bulan Ramadhan ini dengan zakat
fithri yang kita tunaikan. Amin.
(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah
Yusuf, Bulletin al Wala wal Bara Edisi ke-2 Tahun ke-1 / 29 November 2002 M /
24 Ramadhan 1423 H,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar