Penting sekali bagi setiap muslim untuk mengetahui ketentuan dariAllah subhanahu wa ta’ala baik berupa perintah maupun larangan yang syar’i sebagaimana yang digariskan baik dalam al-Qur’an maupun as- Sunnah. Sehingga dengan memahami larangan-larangan tersebut maka setiap orang wajib untuk menjauhinya. Dan pada gilirannya dapatlah dijauhi keburukan serta kemudharatan yang ditimbulkannya.
Perkara-perkara yang
dilarang dalam agama adalah seluruh perkara yang telah turun larangan atasnya.
Larangan adalah lawan dari perintah, yakni tuntutanm untuk menahan diri dari
satu perbuatan.
Berdasarkan informasi yang
disampaikan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sebenarnya begitu banyak kaum
terdahulu yang binasa akibat melanggar
syari’at sebagai alasan atas kejahilan dan kezhaliman mereka. Allah Ta’ala
berfirman,
:
فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ
يَوْمِ الظُّلَّةِ إِنَّهُ كَانَ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Kemudian mereka mendustakan Syu'aib, lalu mereka ditimpa 'azab pada
hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah 'azab hari yang besar.
(QS.Asy-Syu’araa : 189)
فَيَأْتِيَهُم بَغْتَةً وَهُمْ لَا
يَشْعُرُونَ
maka datanglah 'azab kepada mereka dengan mendadak, sedang mereka
tidak menyadarinya,(QS.Asy-Syur’arra : 202)
Dilain ayat Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَعَادًا وَثَمُودَ وَأَصْحَابَ
الرَّسِّ وَقُرُونًا بَيْنَ ذَلِكَ كَثِيرًا
dan (Kami binasakan) kaum 'Aad dan Tsamud dan penduduk Rass [1069]
dan banyak (lagi) generasi-generasi di antara kaum- kaum tersebut.(QS.Al
Furqaan: 38)
Allah ta’ala berfirman :
وَيَا قَوْمِ لاَ يَجْرِمَنَّكُمْ
شِقَاقِي أَن يُصِيبَكُم مِّثْلُ مَا أَصَابَ قَوْمَ نُوحٍ أَوْ قَوْمَ هُودٍ أَوْ
قَوْمَ صَالِحٍ وَمَا قَوْمُ لُوطٍ مِّنكُم بِبَعِيدٍ
Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan
kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang
menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shaleh, sedang kaum Luth tidak (pula)
jauh (tempatnya) dari kamu.(QS.Huud: 89_)
Selain itu sebuah hadits
yang diriwayatkan imam Muslim rahimahullaah ta’ala dari Abu Musa
radhyallaahu’anhu :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا بُرَيْدُ بْنُ أَبِي
بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْلِي لِلظَّالِمِ فَإِذَا أَخَذَهُ
لَمْ يُفْلِتْهُ ثُمَّ قَرَأَ [ وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ
ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ ]
Hadis riwayat Abu Musa Radhiyallahu 'anhu , ia berkata:Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi
Maha Agung akan mengulur-ulur waktu bagi orang yang zalim. Tetapi ketika Allah
akan menyiksanya, maka Dia tidak akan melepaskannya. Kemudian beliau membaca
firman Allah: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk
negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih
lagi keras
Menjauhi larangan
sesungguhnya jauh lebih berat daripada mengerjakan perintah , namun kebanyakan
orang-orang lebih menyukai untuk mengerjakakan larangan,hal ini dikarenakan
mengerjakan larangan adalah berkaitan dengan hawa nafsu dan paling disukai oleh
syaitan.
Syari’at islam tidak memberikan sedikitpun
dispensasi atau kelonggaran pada manusia untuk boleh mengerjakan perbuatan yang
dilarang. Berbeda dengan perintah boleh dikerjakan sesuai dengan kemampuan
seseorang. Akan hal ini disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah
radhyallaahu’anhu yang diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah ta’ala :
صحيح البخاري ٦٧٤٤: حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ
فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Shahih Bukhari 6744: dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Biarkanlah apa yang aku tinggalkan
untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar
bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu
maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka
kerjakanlah semampu kalian."
Berbeda dengan
melaksanakan perintah, yang pada umumnya tidak bertentangan dengan hawa nafsu.
Karena itulah Allah Ta’ala menganugerahkan ganjaran yang besar dan memberikan
pujian pada orang yang mampu menahan hawa nafsunya. Sebagian ulama bahkan
mengatakan larangan itu sifatnya lebih berat dibandingkan perintah. sebagaimana
sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam,
Mayoritas manusia lebih
sulit untuk meninggalkan larangan dibandingkan melaksanakan perintah padahal
menurut logikanya, seharusnya meninggalkan larangan relatif lebih mudah
dibandingkan melaksanakan perintah. Sebab untuk meninggalkan larangan tidak
diperlukan usaha dan tenaga, berbeda dengan perintah. Hal ini disebabkan,
meninggalkan perkara yang dilarang itu bertentangan dengan hawa nafsu.
Ibnul Qaiyim berkata : “ada satu perkara tentasng
dosda yang banyakembuat manusia keliru
menyikapinya. Yaitu mereka tidak melihat pengaruh dosa itu langsung pada waktu
juga , k,adang kala pengaruhnya terjadi
jauh setelah itu namun mereka
sudah lupa. Lantas mereka mengira bahwa perkaranya sudah selesai. .
Hampir setengah ajaran
Islam berupa larangan yang harus dijauhi oleh ummatnya. Ini berarti, orang yang
menjauhi seluruh larangan telah mengamalkan hampir setengah hukum Islam, dan
sebaliknya yang melanggar seluruh larangan berarti telah melanggar hampir
setengah ajarannya.
Imam Ibn Qayyim
rahimahullah berkata, “ sesungguhnya bangunan dan pondasi syari’at dibangun
diatas hikmah dan kemaslahatan para hamba, didunia dan akhirat. Seluruh
syari’at Islam adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah.” Syari’at Islam
itu sendiri terdiri dari perintah dan larangan , maka larangan yang berlaku
terhadap para hamba pun didasarkan atas hikmah dan kemaslahatan.
Firman Allah subhanahu wa
ta’ala :
قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ
أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ قُل لاَّ أَتَّبِعُ أَهْوَاءكُمْ
قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan
yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah: "Aku tidak akan mengikuti
hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula)
aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS.Al An’am : 56 )
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman :
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ
مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan
(mengambil) riba [174] tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila [175].
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu [176] (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
(QS.Al Baqarah : 275 )
Sungguh seseorang belumlah
dikatakan bertakwa selama ia masih melakukan perbuatan yang dilarang syari’at
walaupun ia seorang yang tekun menjalankan perintah agama. Sebab definisi dari
takwa itu sendiri melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-laranganNya. Termasuk cermin pribadi yang bertakwa yaitu meninggalkan
perkara-perkara yang masih samar (syubhat), yaitu perkara yang tidak jelas
antara kehalalan dan keharamannya. Sebab, apabaila seseorang terjerumus kedalam
perkara yang syubhat maka dikhawatirkan ia telah terjerumus kedalam perkara
yang haram sementara ia tidak menyadarinya. Jika perkara yang syubhat saja
diperintahkan untuk ditinggalkan maka untuk perkara yang haram tentu lebih
ditekankan untuk ditinggalkan sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam,
صحيح البخاري ١٩١٠: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ ابْنِ عَوْنٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ
سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ
عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ
بْنَ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ سَمِعْتُ
الشَّعْبِيَّ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا
سُفْيَانُ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ
مُشْتَبِهَةٌ فَمَنْ تَرَكَ مَا شُبِّهَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ كَانَ لِمَا اسْتَبَانَ
أَتْرَكَ وَمَنْ اجْتَرَأَ عَلَى مَا يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْإِثْمِ أَوْشَكَ أَنْ يُوَاقِعَ
مَا اسْتَبَانَ وَالْمَعَاصِي حِمَى اللَّهِ مَنْ يَرْتَعْ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ
أَنْ يُوَاقِعَهُ
Shahih Bukhari 1910: dari An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu
berkata, telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang halal
sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada
perkara yang syubhat (samar). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara yang
samar karena khawatir mendapat dosa, berarti dia telah meninggalkan perkara
yang jelas keharamannya dan siapa yang banyak berdekatan dengan perkara samar
maka dikhawatirkan dia akan jatuh pada perbuatan yang haram tersebut. Maksiat
adalah larangan-larangan Allah. Maka siapa yang berada di dekat larangan Allah
itu dikhawatirkan dia akan jatuh pada larangan tersebut".
Sesungguhnya totalitas
agama itu berpulang pada pelaksanaan perintah, meninggalkan hal-hal yang
dilarang dan menahan diri dari syubhat. Umar Ibn Abdul Aziz berkata,”bukanlah ketakwaan kepada Allah itu dengan
shalat malam, puasa siang hari atau menggabungkan keduanya, namun ketakwaaan
itu adalah mengerjakan apa-apa yang di
Beliau juga berkata,”aku ingin sekiranya aku tidak mengerjakan
shalat kecuali shalat lima waktu dan shalat witir; menunaikan zakat dan
kemudian tidak bersedekah lagi meskipun hanya satu dirham; melaksanakan puasa
Ramadhan dan kemudian tidak berpuasa lagi meskipun hanya satu hari; mengerjakan
haji yang wajib dan kemudian tidak menunaikan haji lagi; akan tetapi kemudian
aku kerahkan seluruh sisa kekuatan untuk menahan diri dari perkara-perkara yang
diharamkan oleh Allah.”
Dari perkataan Umar ibn Abdul Aziz tersebut diatas dapat
dipahami bahwa sesungguhnya menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan
Allah subhanahu wa ta’ala sesungguhnya lebih utama dari mengerjakan
amalan-amalan yang bersifat sunnah, kecuali yang bersifat wajib tentunya lebih
utama dari dibandingkan dari menahan diri dari perkara-perkara yang dilarang.
Sahl bin Abdullah
radhyallaahu’anhu berkata : Meninggalkan perintah Allah itu lebih besar dosanya
disisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada melanggar larangan Nya. Hal ini
karena Nabi Adam alaihi sallam diterima taubatnya oleh Allah setelah beliau
memakan buah pohn yang dilarang oleh-Nya. Serdangkan Iblis tidak diampuni
karena menolak untuk bersujud kepada Adam, ketika Allah memerintahkannya untuk
melakukan hal itu.
Ibnu Qaiyin
rahimahullah menyebutkan bahwa : “ Dosa melanggar larangan biasanya terjadi
karena syahwat dan kebutuhan, sedanglkan
meninggalkan perintah biasanya disebabkan oleh kesombongan dan
keangkuhan.Sedangkan seseorang tidak akan masuk surga yang dihatinyas bercokol kesombongan walaupun seberat
dzarrah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Muslim rahimahullah
ta’ala dari Ibnu Mas’ud radhyallahu’anhu
:
: صحيح مسلم ١٣١: و حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ
جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى بْنِ حَمَّادٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ
حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ عَنْ فُضَيْلٍ الْفُقَيْمِيِّ
عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ
ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا
وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ
الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Shahih Muslim 131: dari Abdullah bin Mas'ud dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak akan masuk surga
orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan."
Seorang laki-laki bertanya, "Sesungguhnya laki-laki menyukai baju dan
sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau menjawab:
"Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu
adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia."
Sebaliknya ,akan masuk surga orang yang
membawa mati tauhid, sekalipun ia pernah berzina dan mencuri. Hal ini
disebutkan dalam hadits riwayat imaBukhari rahimahullah ta’ala :
صحيح البخاري ١١٦١: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ
بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ الْأَحْدَبُ عَنْ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ عَنْ
أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي آتٍ
مِنْ رَبِّي فَأَخْبَرَنِي أَوْ قَالَ بَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي
لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ
قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ
Shahih Bukhari 1161: dari Abu Dzar radliallahu 'anhu berkata;
Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Baru saja datang
kepadaku utusan dari Rabbku lalu mengabarkan kepadaku" atau Beliau
bersabda: "Telah datang mengabarkan kepadaku bahwa barangsiapa yang mati
dari ummatku sedang dia tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun maka dia
pasti masuk surga". Aku tanyakan: "Sekalipun dia berzina atau mencuri?"
Beliau menjawab: "Ya, sekalipun dia berzina atau mencuri".
Lebih lanjut Ibnu
Qaiyim rahimahullah ta’ala mengemukakan bahwa semua yang dilarangan adalah
penghalang untuk melaksanakan sesuatu yang diperintahkan: atau setidaknya ia
dapat membuat pelaksanaanya menjadi tidak sempurna.Jika sesuatu yang dilarang
itu pernah terbesit di dalam hati seseorang , namun dia menahan diri dari meninggalkannya karena Alllah dan
bukan karena terpaksa , maka orang tyang bersangkutan mendapatkan pahala karena
tel;ah menahan dan mencegah dirinya dari yang
terlarang tersebut. Sebab, apa yang ditinggalkannya itu sudah
dikatagorikan sesuatu yang nyata. Sementara pahala hanya dapat diperoleh dengan
mengerjakan sesuatu yang kongkrit, bukan
dengan sesuatu yang tidak ada.
Kemudian disebutkan
juga oleh Ibnu Qaiyim rahimahullah ta’ala : “Adapun jika seseorang meninggalkan
sesuatu yang dilarang karena tidak mampu melakukannya padahal hatinya bertekad melakukan nya, maka
orang yang sedemikian akan dihukum Allah karena kebulatan niat dalam hatinya
untuk melakukannya, sekalipun tidak dihukum dengan hukuman orang yang melakukan
larangan tersebut dengan kemampuannya. Sebab , ia tidak dapat mencapai
tujuannya karena memang tidak mampu melakukannya. Ini ditegaskan dalam firman
Allah ta’ala :
لِّلَّهِ ما فِي
السَّمَاواتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِن تُبْدُواْ مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ
تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللّهُ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن
يَشَاء وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah
akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya;
dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.Al Baqarah : 284 )
Selain itu dalam ayat
yang lainnya Allah berfirman :
لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ
بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ
وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah
menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh
hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun( QS.Al Baqarah : 225 )
Allah subhanahu wa
ta’ala telah menetapkan bahwa melakulan perintah dibalas sepuluh kali lipat,
sedangkan melakukan hal yang dilarang dibalas demngan satu balasan yang
setimpal. Hal ini menunjukkan bahwa melaksanakan pertintah lebih Allah sukai
daripada meninggalkan laranganm. Sebab jika sebaliknya, maka balasan bagi yang
meninggalkan satu keburukan adalah sepuluh kali lipatnya, sedeangkan balasan
mengerjakan satu kebaikan satu kali lipatnya atau sebanding dengan kebaikan
tersebut.
Ibnu Qaiyim mengatakan
: tujuan dari sedbuah larangan adalah tidak melan ggarnya, dan agar perkara
yang terlarang itu tetap tidak terjadi, b aik seseorang , baik seorang pernah b
erniat untuk melanggarnya ataupun tidak, baik terlintas dalam hatinya keinginan
untuk melanggarnya ataupun tidak. Intinya tujuan dari larangan adalah agar
sesuatu yang dilarang tetap tidak terjadi.
Larangan-Larangan Yang Termasuk Dalam Tujuh
Puluh Dosa Besar.
Sesungguhnya syari’at
telah menetapkan secara rinci tentang larangan yang diberlakukan kepada umat
Islam, baik larangan terhadap sesuatu yang berakibat pada timbulnya dosa-dosa
kecil maupun dosa-dosa yang bersifat besar. Dan Larangan tersebut jumlahnya
cukup banyak, dimana larangan-larangan
tersebut ada yang disebutkan dalam al-Qur’an dan ada pula yang bersumber dari
as-Sunnah
Imam Adz-Dzahabi
rahimahullaah ta’ala dalam buku beliau al-Kaba’ir , Dosa- Dosa Yang
membinasakan . Beliau menyebutkan bahwa ada riwayat dari Ibnu Abas
radhyallaahu’anhuma berkata : “ Dosa-dosa b esar tersebut lebih dekat kepada
jumlah tujuh puluh daripada tujuh “ Demi Allah, Ibnu
Ababas telah berkata benar.
Lebih lanjut imam
Adz-Dzahabi rahimahullaah ta’ala me yebutkan
bahwa sebagian dosa-dosa b esar
tingkatannya ada yang lebih besar daripada sebagian dosa yang lainn ya. ASpakah
anda tidak melihat ketika Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam memasukkan
perbuatan syirik kepada Allah termasuk diantara jajaran dosa b esar. Pelakunya
akan kekal di dalam neraka dan tidak ada ampunan baginya untuk selama-lamanya.
Allah ta’ala berfirman
:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ
أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ
بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.
(QS.An Nisaa: 48).
Dalam firman Allah
subhanahu wa ta’ala yang lain disebutkan :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ
إِنَّ اللّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي
إِسْرَائِيلَ اعْبُدُواْ اللّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ
فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا
لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih
(sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu". Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun.(QS. Al Maidah : 72 )
Termasuk kedalam
golongan dosa besar adalah berdusta
sebagaimana hadist Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitab Shahih nya :
صحيح البخاري ٥٥١٩: حَدَّثَنِي
إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْوَاسِطِيُّ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قُلْنَا بَلَى
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ
مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلَا وَقَوْلُ
الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لَا يَسْكُتُ
Shahih Bukhari 5519: dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari Ayahnya
radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Tidak maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang
termasuk dari dosa besar? Kami menjawab; "Tentu wahai Rasulullah."
Beliau bersabda: "Menyekutukan Allah dan mendurhakai kedua orang
tua." -ketika itu beliau tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan
sabdanya: "Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan
kesaksian palsu." Beliau terus saja mengulanginya hingga saya mengira
beliau tidak akan berhenti."
Dalam kitab al-Kaba’ir
oleh Imam Adz-Dzahabi disebutkan yang termasuk dalam katagori 70 dosa-dosa
besar itu antara lain: Menyekutukan Allah ( syirik) dalam berbagai bentuknya, membunuh orang lain, perbuatan sihir,meninggalkan
shalat ,tidak mau membayar zakat, durhaka kepada kedua orang tua, Memakan riba,
memakan harta anak yatim secara zhalim, b erdusta atas nama Allah, membatalkan
oluasa rammdahan tanpa alasan ,lari dari medan pertempuran, berzinah, pemimpin
yang hianat dan zhalim, meminum khamar, menyombongkan diri/ takabur/ ujub dan
angkuh,homoseks, menuduh wanita b aik b aik berzinah,mengambil harta orang lain
secara b athil, mencuri, sumpah palsu, bunuh diri ( dosa besar yang paling
besar) ,hakim yang jahat, suami yang membiarkan kemunkaran di keluarganya,
memakan bangkai/darah dan daging babi,tidak bersuci setelah kencing,
pemalak/pungutan liar, riya, khianat,mengungkit-ngungkit kebaikan, tidak b
eriman kepada takdir, tukang laknat, menghianati pemimpin, membenarkan dukun
dan akhli nujum, isteri durhaka, m emutuskan hubungan kekerabatan, memngadu
domba, meratap dan menampar pipi ketika keluarga meninggal,semena-mena,
memberontak dan mengkafirkan orang, dan banyak lagi yang lainnya.
Syaikh Utsaimin
rahimahullah ta’ala berkata “ Sesungguhnya syaitan suka meremehkan dosa-dosa
ini kedalam hati seorang hamba . Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah
mewaspadai hal tersebut. Beliau bersabda :
“ Berhati-hatilah
kalian terhadap dosa-dosa yang dianggap remeh, karena perumpamaan hal ini
seperti kelompok orang yang menetap di suatu daerah Kemudian masing-masing
orang membawa sebatang ranting. Kemudian setelah dikumpulkan menjadi sekumpulan
kayu bakar sehingga mereka bisa menyakan api.”
Inilah perumpamaan
untuk dosa-dosa yang diremehkan manusia. Oleh karena itu para ulama berkata : “
Sesungguhnya dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi
dosa besar. Meminta ampunan dari dosa besar bisa menghapuskannya.”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullaah ta’ala berkata , “ Dosa besar adalahdosa yang berakibat
ditimpakannya siksa yang bersifat khusus” Yaitu dosa yang Allah dan Rasul-Nya
akan menimpakan siksa khusus kepadanya. Seperti berupaka siksaan yang sifatnya
duniawi atau ukhrawi ( di akhirat). Karena perbvuatan dosa bisa jadi karena
melakukan sebuah perklara yang dilarang, diharamkan dan lain sebagainya.
Sungguh seseorang belumlah
dikatakan bertakwa selama ia masih melakukan perbuatan yang dilarang syari’at
walaupun ia seorang yang tekun menjalankan perintah agama. Sebab definisi dari
takwa itu sendiri melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-laranganNya. Termasuk cermin pribadi yang bertakwa yaitu meninggalkan
perkara-perkara yang masih samar (syubhat), yaitu perkara yang tidak jelas antara
kehalalan dan keharamannya. Sebab, apabaila seseorang terjerumus kedalam
perkara yang syubhat maka dikhawatirkan ia telah terjerumus kedalam perkara
yang haram sementara ia tidak menyadarinya. Jika perkara yang syubhat saja
diperintahkan untuk ditinggalkan maka untuk perkara yang haram tentu lebih
ditekankan untuk ditinggalkan sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam, :
صحيح البخاري ١٩١٠: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ ابْنِ عَوْنٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ
سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ
عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ
بْنَ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ سَمِعْتُ
الشَّعْبِيَّ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا
سُفْيَانُ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ
مُشْتَبِهَةٌ فَمَنْ تَرَكَ مَا شُبِّهَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ كَانَ لِمَا اسْتَبَانَ
أَتْرَكَ وَمَنْ اجْتَرَأَ عَلَى مَا يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْإِثْمِ أَوْشَكَ أَنْ يُوَاقِعَ
مَا اسْتَبَانَ وَالْمَعَاصِي حِمَى اللَّهِ مَنْ يَرْتَعْ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ
أَنْ يُوَاقِعَهُ
Shahih Bukhari 1910: dari An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu
berkata, telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang halal
sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada
perkara yang syubhat (samar). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara yang
samar karena khawatir mendapat dosa, berarti dia telah meninggalkan perkara
yang jelas keharamannya dan siapa yang banyak berdekatan dengan perkara samar
maka dikhawatirkan dia akan jatuh pada perbuatan yang haram tersebut. Maksiat
adalah larangan-larangan Allah. Maka siapa yang berada di dekat larangan Allah
itu dikhawatirkan dia akan jatuh pada larangan tersebut".
K h a t i m a h
Larangan yang
digariskan dalam agama oleh Allah subhanahu wa ta’ala baik yang dituangkan
dalam al-Qur’an maupun as- Sunnah tiada
lain adalah untuk membatasi agar umat Islam tidak melakukan perbuatan yang
bertentangan dan bertolak belakang dengan kebaikan yang diusung oleh agama.
Larangan larangan yang diatur dalam Islam dimaksudkan pula agar umat Islam
tidak melampaui batas kewajaran sehingga berdampak menjadi suatu keburukan
bahkan dapat memberikan kemudharatan
tidak saja bagi dirinya juga bagi pihak lain.
Prinsif dari larangan
dalam Islam pada hakikatnya adalah untuk menyelamatkan umat Islam agar tidak
terjerumus kedalam tindakan-tindakan
yang berdampak negatif dan selamat di dunia dan akhirat.
Untuk itu suatu
kewajiban yang mutlak untuk menta’ati akan larangan-larangan yang ditetapkan
All ah subhanahu wa ta’ala dengan meninggalkan dan menjauhinya agar tidak
terseret dan terbawa-bawa oleh arus kuat berupa godaan hawa nafsu dan syaitan.
( Wallaahu ta’ala a’lam )
Sumber :
4.Fawaid ( Terjemahan
(, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Pustaka Imam Syafi’i
5. Ensiklopedi
Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
6.Artikel www. wahdah.or.id
Samarinda, Menjelang Dzuhur 20 Jumadil Tsani 1434 H / 1
Mei 2013 M
(Musni Japrie )