Apabila kita
memperthatikan tata cara beribadah kebanyakan kaum muslimin dewasa ini, banyak
sekali yang menyalahi tuntunan dari syari’at, sehingga jauh sekali dari apa
yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam
Sebagai contoh dalam
ibadah shalat, banyak orang-orang yang melakukan gerakan-gerakan yang tidak ada
contoh dan petunjuknya dari dalil yang dapat dipertanggung jawabkan, antara
lain misalnya setelah mengucapkan salam langsung mengangkat kedua belah telapak
tangan dan mengusapkannya kemuka atau wajahnya. Selain itu ada pula yang
melakukan perbuatan sebelum mengusapkan kedua belah telapak tangan kemuka atau
wajah terlebih dahulu menadahkannya sambil berdoa. Dilain pihak
dijumpai pula orang-orang yang setelah salam (selesai melakukan shalatnya)
langsung menyorongkan tangannya untuk bersalaman dengan orang-orang yang berada
disebelah kanan kiri mereka, yang katanya sebagai bentuk wujud dari hablun
minnannas ( berhubungan dengan sesama manusia) setelah melakukan
hablunminallah ( berhubungan dengan Allah melalui shalat).
Perilaku yang sedemikian
dibenarkan saja oleh beberapa orang ulama, dengan
pertimbangan menganalogikannya ( mengkiaskan) dengan orang yang selesai berdoa,
karena shalat dikatagorikan sebagai shalat. Mereka mengatakan bahwa perbuatan
semacam itu bukan termasuk perbuatan bid’ah, sehingga sah-sah dan boleh saja
dilakukan.
Selain perbuatan yang
disebutkan diatas, sering pula kita melihat banyak orang yang setelah salam
melakukan sujud tambahan ( bukan sebagai sujud sahwi). Sujud tersebut
dimaksudkan sebagai sujud syukur karena telah menjalankan perintah Allah berupa
shalat.
Ditinjau dari kacamata
syari’at, perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut ternyata tidak ada
satupun hadits dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam baik yang maudhu,
dha’if apalagi yang shahih yang dapat dijadikan dasar hukum dan
dalil pijakan. Mereka-mereka yang kebanyakan melakukan perbuatan-perbuatan
sebagaimana digambarkan diatas tiada lain hanyalah semata mengikuti apa-apa
yang dilakukan oleh orang-orang lain yang dianggap baik untuk diikuti, meskipun
sebenarnya perbuatan yang ditiru dan diikuti tersebut salah. Namun karena
banyaknya orang-orang yang melakukan perbuatan yang serupa sehingga dianggaplah
perbuatan tersebut sebagai yang benar dan patut untuk dipertahakan dan
ditularkan kepada yang lain.
Perbuatan yang banyak
dilakukan oleh kebanyakan kaum muslim di negeri ini sebagaimana yang dipaparkan
tersebut yang diperoleh dari ikut-ikutan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh
orang lain menggambarkan bahwa ternyata mereka-mereka tersebut kurang atau
bahkan dapat dikatakan sebagai orang-orang yang jahil (bodoh) akan ilmu tentang
tata cara beribadah yang benar sesuai dengan syari’at Kejahilan (kebodohan )
akan ilmu tersebut tentunya tiada lain adalah disebabkan karena mereka-mereka
tersebut tidak mau untuk menuntut ilmu agama sebagai hal yang penting dan bekal
untuk melaksanakan ibadah yang benar sesuai tuntunan syari’at.
Seorang muslim tidak
akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan belajar Islam yang
benar berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman salafush shalih.
Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi Muhammad shalallahu’alaihi
wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ
رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ
وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِ “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan
membawa petunjuk dan
agama yang hak agar dimenangkan- Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi.” ( QA. Al Fat-h: 28 ).
Yang dimaksud dengan
al-hudaa ( petunjuk ) dalam ayat ini adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang
dimaksud dengan diinul haqq ( agama yang benar ) adalah amal shalih. Allah
Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam untuk menjelaskan
kebenaran dari kebathilan, menjelaskan Nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta
memerintahkan untuk melakukan segala apa yang berfmanfaat bagi hati, ruh dan
jasad. Beliau melarang umatnya dari perbuatan syirik, amal dan akhlak yang
buruk, yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya.
Cara untuk mendapatkan hidayah dan mensyukuri nikmat Allah adalah dengan
menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat
membedakan antara yang haq dengan yang bathil, tauhiddan syirik, sunnah dan
bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, antara yang bermanfaat dan yang
membahayakan, Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa kepada
kebahagian dunia dan akhirat ( Yazid bin Abdul Qadir Jawas : Menuntut ilmu
jalan menuju surga Pustaka At-Taqwa, hal 4-5 )
Faedah dan keuntungan
menuntut ilmu agama
Allah Subhanahu Wata’ala
berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ
وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى
اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“ Dan demikian (pula) di
antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan je- nisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba- Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Ma- ha Pengampun.”( Qs.Faathir : 28 )
Dari ayat diatas dapat
dimaknai bahwa ulama sebagai orang yang memiliki ilmu sesungguhnya yang
takutkepada Allah diantara hamba-hamba Allah karena orang-orang yang berilmu
tahu benar kedudukan Allah Yang Maha Pencipta, yang memiliki kekuasan atas
makhluknya sehingga patut ditakuti. Dan pengetahuan tentang kedudukan serta
kekuasaan Allah itu hanya dapat diperoleh dengan menuntut ilmu tentang agama.
Dilain ayat Allah
berfirman :
-
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ
اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang beriman
apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis",
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
( QS. Al Mujaadilah : 11 )
Ayat diatas menyebutkan
bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan, dimana diangkatnya derajat mereka itu tidak lain
karena orang-orang yang berilmu itu lebih mengetahui tentang agama Allah, lebih
mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syari’at agamanya secara benar
sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dari dua ayat tersebut
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya menuntuk ilmu syari’at itu
akan memberikan banyak sekali faedah atau manfaat dan keuntungan bagi para
penuntutnya.Khususnya yang berkaitan kepentingan setiap individu muslim dalam
menjalankan syari’at agamanya.
Dengan menuntut ilmu
syar’i setiap individu muslim dalam melaksanakan agamanya akan terhindar dari
perbuatan yang mengada-ada (bid’ah ) yang tidak bersumber dari tuntunan
syari’at, baik tuntunan Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karena seperti kebanyakan
yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dewasa ini sebagai akibat jauhnya
dari ilmu syari maka mereka jauh dari tuntunan as-Sunnah, mereka mengikuti apa
saja yang dikatakan orang-orang jadi panutan mereka seperti para ulama, ustadz,
kiayi, guru-guru mengaji meskipun sebenarnya apa yang disampaikan mereka
tersebut tidak berdasarkan dalil/nash yang dapat dipertanggung jawabkan.
Ujung-ujungnya tanpa disadari banyak umat islam ini meninggalkan sunnah dan
lebih mencintai perbuatan bid’ah yang jauh dari tuntunan. Sedangkan bid’ah itu
sendiri terlarang dalam agama sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam :
سنن الترمذي ٢٦٠٠:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ
بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ
وَعَظَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ
مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ
فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ
أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ
مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ
بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا
حَدَّثَنَا بِذَلِكَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ
سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
وَالْعِرْبَاضُ بْنُ سَارِيَةَ يُكْنَى أَبَا نَجِيحٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا
الْحَدِيثُ عَنْ حُجْرِ بْنِ حُجْرٍ عَنْ عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
Sunan Tirmidzi 2600:
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami
Baqiyyah bin al Walid dari Bahir bin Sa'd dari Khalid bin Ma'dan dari
Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al 'Irbadh bin Sariyah dia berkata; suatu
hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi wejangan kepada kami
setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata
mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; 'seakan-akan
ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami
ya Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku
wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan
ta'at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara
kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah
oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu
merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu
hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi
geraham."
Dengan menuntut ilmu
syari’ maka setiap invidu muslim dapat mengetahui bahwa rujukan dalam melakukan
ibadah itu selain Al-Qur’an adalah As-Sunnah berupa hadits Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam yang shahih. Karena tanpa pengetahuan banyak
kalangan yang tidak memahami hadits-hadits yang shahih, dha’if dan ma’udhu.
Karena ketiadaan ilmu pengetahuan tentang hadits banyak orang-orang yang
beribadah tanpa dilandasi hadits yang shahih. Tentang hadits ini imam Bukhari
meriwayatkan :
صحيح البخاري ٨٣١:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَرَمِيُّ
بْنُ عُمَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بَكرِ بْنِ الْمُنكَدِرِ
قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ سُلَيْمٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى
أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ
وَجَدَ
قَالَ عَمْرٌو أَمَّا
الْغُسْلُ فَأَشْهَدُ أَنَّهُ وَاجِبٌ وَأَمَّا الِاسْتِنَانُ وَالطِّيبُ
فَاللَّهُ أَعْلَمُ أَوَاجِبٌ هُوَ أَمْ لَا وَلَكِنْ هَكَذَا فِي الْحَدِيثِ
قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ هُوَ أَخُو مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ وَلَمْ
يُسَمَّ أَبُو بَكْرٍ هَذَا رَوَاهُ عَنْهُ بُكَيْرُ بْنُ الْأَشَجِّ وَسَعِيدُ
بْنُ أَبِي هِلَالٍ وَعِدَّةٌ وَكَانَ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ يُكْنَى
بِأَبِي بَكْرٍ وَأَبِي عَبْدِ اللَّهِ
Shahih Bukhari 831:
Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Abdullah bin Ja'far berkata, telah
menceritakan kepada kami Harami bin 'Umarah berkata, telah menceritakan
kepadaku Syu'bah dari Abu Bakar bin Al Munkadir berkata, telah menceritakan
kepadaku 'Amru bin Sulaim Al Anshari berkata, "Aku bersaksi atas Abu Sa'id
Al Khudri ia berkata, "Aku bersaksi atas Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, bahwa beliau bersabda: "Mandi pada hari Jum'at merupakan
kewajiban bagi orang yang sudah bermimpi (baligh), dan agar bersiwak (menggosok
gigi) dan memakai wewangian bila memilikinya." 'Amru berkata, "Adapun
mandi, aku bersaksi bahwa itu adalah wajib. Sedangkan bersiwak dan memakai
wewangian -dan Allah yang lebih tahu- aku tidak tahu ia wajib atau tidak, tapi
begitulah yang ada dalam hadits."
Mu'adz bin Jabal
–radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, "Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan
itu berada di belakang setelah adanyailmu.” (Al Amru bil Ma'ruf wan
Nahyu 'anil Mungkar, hal. 15)
Ulama hadits terkemuka,
yakni Al Bukhari berkata, "Al'Ilmu Qoblal Qouli Wal
'Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)". Perkataan ini
merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta'ala,
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
"Maka ilmuilah
(ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu" (QS. Muhammad [47]: 19).
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu
mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah
untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan.
Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan
ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh
Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan
dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu
mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan
mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul
Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang
bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan
yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan
merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului
dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang
gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol,
1/144)
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang
dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan
dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali
dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan
dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan
memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)
Dari uraian diatas maka
dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya menuntut ilmu syar’i akan memberikan
banyak manfaat dan keuntungan bagi penuntutnya sedangkan kebodohan (kejahilan )
karena ketiadaan ilmu agama ( syar’i) menyebabkan banyaknya orang-orang tertipu
dan lalai terhadap ketentuan agamanya yang diatur oleh yang berhak menetapkan
syari’at yaitu dalam hal ini Allah Yang Maha Pengatur melalui firman-Nya yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam, dan diperjelas
serta diuraikan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dengan sunnahnya.
Kebodohan orang-orang atas agamanya, tiada lain dikarenakan kemalasan mereka
untuk menuntut ilmu syar’i sebagai ilmu yang bermanfaat sehingga terluput dari
kesalahan-kesalahan dalam beribadah . Padahal berbagai kesempatan dan banyak
cara cukup tersedia bagi seseorang untuk menuntut ilmu. Namun semuanya kembali
kepada masing-masing individu, maukah mereka menyisihkan waktu dan tenaga serta
meninggalkan kegiatan dunia untuk menuntut ilmu. Dan ilmu itu tidak akan datang
sendiri tanpa adanya upaya mengejarnya.
( W a l l a a h u a ‘l a
m )
Bahan bacaan :
1.Al-Qur’an dan
Terjemahnya ( Departemen Agama RI )
2.Al-Qur’an dan
Terjemahan , Software Salafi DB
3.Ensiklopedi hadits
Kitab 9 Imam, software Lidwa Pusaka
4.Fathul Bari., Ibnu
Hajar
5.Akidah Muslim, Zaenal
Abidin Bin Syamsuddin
6.Kunci Untuk Mencari
Ayat Al-Qur’an, DRS.M.S Khalil
7.Menuntut ilmu Jalan
Menuju Surga, Yasid bin Abdul Qadir Jawas
Diselesaikan ba’da
ashar, Kamis, 22 Sya’ban 1433 H / 12 Juli 2012
( Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar