Rabu, 20 Juni 2012

ISLAM MELARANG UMATNYA MEMBANGUN DAN MEMBAGUSKAN KUBURAN



Setiap orang yang melakukan ibadah haji atau umrah dapat dipastikan   berkunjung ke Madinah, dimana selain melakukan ibadah shalat di Masjid Nabawi juga diajak  mendatangi beberapa tempat untuk berjiarah antara lain kompleks pekuburan yang terkenal yaitu Baqi’. Semua pejiarah pasti melihat bagaimana kondisi diareal kuburan tersebut yang nampaknya hanyalah hamparan lahan kosong yang diatasnya berserakan hanyalah bongkahan  batu-batu dan  samasekali tidak menggambarkan sebagai kompleks pekuburan sebagaimana layaknya di Indonesia atau negeri-negeri Islam lainnya. Padalah di kompleks kuburan Baqi’ tersebut dimakamkan hampir seluruh kerabat dekat dan  sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam,  banyak para tabi’in, banyak para tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama besar Madinah lainnya. Dimana jasa-jasa mereka sangat besar terhadap dunia Islam.

Mari kita tengok seluruh kompleks kuburan kaum muslim di negeri kita dari pelosok-pelosok sampai ke kota-kota, nampak jauh sekali perbedaanya dengan kompleks kuburan Baqi’ di Madinah dan kompleks kuburan Ma’la di Makkah. Kuburan-kuburan di negeri ini dibangun sedemikian rupa, bahkan sepertinya setiap keluarga berlomba-lomba membangun dan membaguskan, memperindah kuburan para keluarganya. Semakin tinggi status kedudukan orang yang meninggal dan semakin kaya maka semakin  bagus pula kuburannya. Bahkan apabila yang dikuburkan tersebut dianggap sebagai ulama besar atau tuan guru atau kiayi atau yang dianggap sebagai wali kemudian dikramatkan, maka diatas kuburannya dibangunkan kubah atau bangunan yang sekaligus tempat orang berjiarah sambil berdoa dan membaca ayat-ayat al-Qur’an.



Karena membandingkan kondisi kompleks kuburan Baqi’ dan Ma’la dan kompleks kuburan rata-rata diseluruh negeri Saudi Arabia dengan kuburan yang ada dinegeri ini , seseorang  pernah melontarkan ucapan yang menyebutkan bahwa masyarakat muslim di wilayah Saudi Arabia sungguh sangat keterlaluan karena tidak pernah menghargai dan menghormati orang-orang yang telah meninggal dunia sehingga kuburan mereka hanya ditandai dengan hanya sebongkah batu, sangat berbeda dengan masyarakat muslim di Indonesia . Semiskin apapun keluarga yang meninggal, mereka pasti membuatkan minimal nisan baik dari kayu ataupun batu.

Perkataan mereka tersebut diatas sungguh sangat jahil, karena ketidak tahuan  banyak kaum muslimin dinegeri ini tentang syari’at Islam, sehingga sampai-sampai soal kuburan saja mereka tidak tahu bahwa sebenarnya telah ada petunjuk dari syari’at melalui hadits dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tentang tata cara bagaimana seharusnya kuburan itu .

Abul-jauzaa’dalam sebuah artikelnya mengemukakan sebagai berikut :
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ،وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.

Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه 
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
Dari ulasan tersebut diatas maka ternyata hampir seluruh kuburan muslimin yang ada di negeri ini sudah sangat menyalahi dan jauh menyimpang  dari apa yang disyari’atkan oleh Islam. Sehingga untuk itu kewajiban bagi kita untuk memperbaiki diri dalam masalah kuburan ini agar sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yang menjadi panutan kita. ( Wallahu’alam )
Diselesaikan  ba’da ashar, arba 30 Rajab 1433 H/ 20 Juni 2012
By : Abu Farabi al-Banjar
Sumber : Blog Abul- Jauza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar