I. Megah, mewah dan indahnya bangunan kuburan wali,ulama dan orang-orang shalih
Keterangan gambar : kubur Jallaluddin ar-Rumi ( Ulama Sufi )
Dibeberapa Negara di Timur Tengah dijumpai adanya banyak peninggalan bangunan bersejarah tidak saja istana dan masjid-masjid tetapi juga kuburan para ulama dan orang-orang shalih serta sufi terkenal dalam bentuk bangunan yang megah, mewah dan indah serta menarik. Pada masa lalu beberapa generasi jauh dibawahnya generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in oleh kaum muslimin pada saat itu apabila ulama dan orang-orang shalih termasuk para sufi apabila meninggal dunia kuburannya dibuatkan bangunan berupa kubah yang mewah dan diberi hiasan sehingga nampak sangat indah dan menarik.
Dibangunnya kubur sedemikian rupa disebutkan untuk menunjukkan bukti kecintaan dan penghormatan dan pengagungan masyarakat terhadap para ulama dan dan orang-orang shalih atas jasa-jasanya dalam Islam. Terhadap kubur-kubur ulama dan orang shalih tersebut banyak pula masyarakat yang membangun masjid diatasnya, sehingga kuburan berada di dalam masjid. Kuburan-kuburan tersebut berikutnya diagung-agungkan dan diberikan penghormatan yang berlebihan karena dianggap berkramat dimana banyak pula orang-orang datang berziarah untuk meminta pertolongan dan mengharap baraqah darinya.
Tidak hanya kuburan ulama dan orang shalih,terhadap penguasa atau raja yang meninggal kuburannya pun dibuatkan bangunan yang megah dan bahkan diantara para penguasa atau raja tersebut ada pula yang di kubur didalam masjid, sehingga orang shalat harus menghadap ke kubur tersebut.
Kondisi yang serupaberkembang kemana-mana termasuk di Indonesia, sehingga hampir seluruh kuburan yang disebut sebagai wali dibangunkan kubah diatasnya serta diberikan hiasan berupa berbagai macam pernik-pernik sedemikian rupa. Demikian pula kuburan para ulama dan orang-orang shalih lainnya yang dikramatkan tidak ketinggalan pula dibuatkan bangunan yang megah diatasnya, kemudian orang berduyun-duyun datang berziarah dengan berbagai keperluan, seperti minta pertolongan diberikan rezeki, diberikan perlindungan dan keselamatan , minta diberikan jabatan dan kekuasaan serta lain-lainnya.
Membangun kuburan yang megah dengan menghabiskan dana ratusan juta rupiah tidak saja dilakukan orang terhadap kuburnya para wali,ulama dan orang-orang shalih, tetapi juga terhadap kuburnya mantan presiden seperti kuburnya almarhum Sukarno
Di Blitar dan kuburnya almarhum Suharto. Kubur-kubur tersebut juga berduyun-duyun diziarahi karena dianggap pula kubur yang kramat.
Apakah terhadap kubur-kubur para wali,ulama dan orang-orang shalih tersebut yang dibangun kubah dan dibuat megah memang diperkenankan dalam Islam ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu ditelaah apakah ada ada dasarnya dan bersesuaian dengan as-Sunnah ataukah malah sebaliknya, dimana Islam sebenarnya tidak menganjurkannya bahkan melarangnya karena berlawanan dengan apa yang diperintahkan.
II. Bagaimana dengan kuburnya para sahabat Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam?
Ket.Gb : Kuburan Baqi di Madinah
Meskipun mereka-mereka para sahabat dan keluarga Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam mempunyai kedudukan dan derajat yang begitu tinggi tidak saja didepan manusia tetapi juga didepan Allah ta’ala, namun kubur-kubur mereka tidak berbeda dengan hamba-hamba Allah yang lainnya. Tidak ada satupun yang dibuatkan bangunan dan kubah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang belakangan terhadap para wali,ulama dan orang-orang shalih karena memiliki ilmu yang dalam tentang agama dan berjasa dalam mengembangkan Islam. Kalau hitung-hitungan tentunya kedalaman ilmu agama para sahabat tentunya tidaklah sebanding dengan ilmunya para ulama dan orang-orang shalih tersebut. Begitu juga dengan jasa-jasa para sahabat tidaklah dapat dibandingkan dengan jasanya para ulama dalam mengembangkan Islam.
Timbul pertanyaan kenapa kuburnya para sahabat dan keluarga dekat Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak dibuatkan bangunan dan kubah yang megah-megah sebagai bentuk penghargaan dan kecintaan umat terhadap beliau-beliau karena yang lebih pantas mendapatkan penghargaan, pengaggungan dan kehormatan tentunya adalah para sahabat dan keluarga Rasullullah dibandingkan dengan para wali, ulama dan orang-orang shalih.
Jawabannya tiada lain adalah karena dalam Islam memang mengharamkan untuk membangun dan membina kuburan. Karena dikuatirkan akan membuka pintu perbuatan syirik.Dan ternyata apa yang dikuatirkan tersebut terbukti sekarang ini,bagaimana sikap orang-orang yang jahil terhadap ilmu agama menjadikan kuburnya para wali,ulama dan orang-orang shalih tempat untuk beribadah dan meminta pertolongan.
III. Hukum Membangun dan Membina Kubur Menurut Syari’at Islam
Sejak awal Islam telah melarang terhadap umatnya untuk membuat bangunan diatas kuburan , dimana larangan tersebut bersifat menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada kuburan-kuburan tertentu saja. Larangan tersebut dilandasi kepada hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim :
صحيح مسلم ١٦١٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
و حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Shahih Muslim 1610: dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk dan membuat bangunan di atasnya."
Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Larangan sebagaimana hadits tersebut diatas juga diperkuat lagi dengan perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu– adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Berikutnya larangan membuat bangunan diatas kubur sebagaimana yang disebutkan dalam hadits diatas, dilanjutkan pula oleh para ulama seluruh mazhab dengan mengingatkan kepada umat seluruh umat Muslim, antara lain dikalangan madzhab Syaafi’iyyah berdasarkan perkataan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafii rahimahullah :.
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
Hadits dari Ali bin Thalib radhyallahu’anhu diberi komentar pula imam An-Nawawiy rahimahullah sebagai salah seoreang ulama besar dari madzhab Syafi’iyah dimana beliau berkata :
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’ dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
itu.....
Dari penjelasan para ulama dari berbagai madzhab sebagaimana yang dikemukakan diatas maka sangatlah jelas keharamannya membuat bangunan dan membina kubur dengan kemegahan dan kemewahan yang menghabiskan biaya cukup besar sebagaimana yang nampak pada banyak kuburan para ulama dan orang-orang shalih yang bertebaran di seluruh negeri Islam.
IV. Membuat Bangunan dan Membina Kubur Para Ulama dan Orang-Orang Shalih Perbuatan Berlebihan ( Ghuluw) yang Terlarang Dalam Islam
Ket.Gb : Kubur Syaikh Abd.Qadir Jailani
Sebelum memasuki pembicaraan tentang inti persoalan mengenai membuat bangunan dan membina kubur para ulama dan orang-orang shalih termasuk perbuatan ghulur yang terlarang dalam agama, maka terlebih dahulu disinggung tentang pengertian ghuluw.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ghuluw dalam agama berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencela sesuatu sehingga menyimpang jauh dari apa yang menjadi haknya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan definisi yang semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah . Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara syariat ghuluw berarti berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari kedudukan yang sepantasnya, seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang saleh ke martabat rububiyyah dan uluhiyyah (ketuhanan).
Ada juga ulama yang mengatakan, "Ghuluw berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya."
V. Ghuluw dalam Pandangan Agama
Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan kebencian-Nya terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat Rasulullah n tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi diri beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu juga Rasulullah shallahu’alahi wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari hal tersebut.
Ghuluw dengan makna di atas telah dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Mencintai dan memuliakan sesama muslim merupakan perintah syari’at yang mulia ini. Terlebih kepada orang-orang shalih dan ulama. Allah menyepadankan persaksian mereka dengan persaksian Diri-Nya, dan mereka adalah teman yang terbaik. Tetapi perlakuan ini harus dalam koridor yang benar dan proporsional, tidak ghuluw atau berlebih-lebihan. Sebab mereka adalah manusia biasa, tidak memiliki kemaksuman seperti para nabi dan tidak pula memiliki sifat ketuhanan.
Hal ini perlu ditegaskan lantaran gejala atau praktek ghuluw ini masih terus menggelayuti sebagian masyarakat. Ada yang mempunyai persepsi bahwa ulama itu tidak mungkin keliru.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi dalam kitab beliau “Prilaku & Akhlak Jahilliyah mengatakan ; bahwa orang-orang jahilliyah mereka telah berbuat ghuluw terhadap pribadi-pribadi tertentu ,yakni dengan mengangkat mereka dari kedudukannya. Sampai-sampai pada tingkatan menjadikan mereka sebagai sembahan bersama Allah . Sebagaimana orang Yahudi berbuat ghuluw kepada Uzair, mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “. Demikian juga perbuatan ghuluw orang-orang orang Nasrani. Mereka menjunjung tinggi dan menyanjung Isa bin Maryam’alaihisallam dari kedudukannya sebagai seoramng manusia biasa dan pengemban risalah kepada derajat keuluhiyahan (sesembahan) dan mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “
Demikian pula dengan kaum Nabi Nuh’alaihissallam sepeninggal beliau , mereka bersikap ghuluw kepada orang shalih, dengan membuat gambar dan patung mereka. Kemudian mereka mengibadahinya sebagai sesembahan selain Allah, lalu mereka mengangkat orang-orang shalih sampai kepada tingkat uluhiyyah.Sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah subhanahu wa ta’ala :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[1521]".(QS.Nuh : 23 )
K e t e r a n g a n :
[1521] Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.
Berdasar ayat diatas mereka telah menjadikan orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan. Dan demikian juga selain mereka dari kelompok kelompok kaum musyrikin sampai hari ini. Mereka telah bersikap ghuluw kepada orang-orang shalih dengan melakukan tawaf di kiburan mereka, menyembelihj dan bernazar untuk mereka, dan memohon pertolongan ketika dalam keadaan sulit kepada orang yang telah mati. Mereka bersungguh-sungguh dalam memohon kepada oarnmg-orang shalih tersebut agar memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Perbuatan ghuluw seperti ini akan menyeret para pelakunya kepada kesyirikan.Maka tidak diperbolehkan bersikap ghuluw terhadap seluruh makhluk dan mengangkat mereka diatas kedudukan yang btelah Allah berikan.Karena hal ini akan menyeret kepada perbuatan menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala.Demikian pula ghuluw kepada para ulama dan ahli ibadah.
Syari’at telah melarang umat islam untuk berbuat ghuluw kepada Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam yang jelas dan nyata sebagai nabinya tercinta umat islam, apalagi terhadap para ulama larangan itu tentunya semakin keras.
Termasuk ke dalam perbuatan ghuluw terhadap ulama yang dilakukan oleh sebagian umat Muslim di berbagai negeri termasuk di Indonesia adalah membuat bangunan yang megah dan mewah diatas kubur dan bahkan ada yang membangunkan masjid kemudian diziarahi dan berdoa serta meminta pertolongan kepada orang yang telah mati yang menghuni kubur tersebut. Sedangkan as-Sunnah sebagai syari’at Islam melarang membuat bangunan diatas kubur.
Sehingga membuat bangunan diatas kubur selain sebagai perbuatan ghuluw terhadap ulama, juga merupakan pelanggaran terhadap larangan yang sudah digariskan oleh agama.
VI. K e s i m p u l a n
Hampir di seluruh tempat di negeri-negeri Muslim termasuk di Indonesia terdapat kuburan para ulama dan orang-orang shalih yang diatasnya dibuatkan bangunan yang megah dan mewah dengan berbagai pernik- perniknya. Kubur-kubur tersebut dianggap sebagai kubur yang berkramat sehingga banyak orang-orang Muslim yang datang berziarah sambil beribadah disana dan meminta pertolongan kepada penghuni kubur.
Apa yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Muslim tersebut sesungguhnya telah mengangkat kedudukan para ulama dan orang-orang shalih yang telah meninggal tersebut pada kedudukan yang tidak semestinya. Hal ini merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan ( ghuluw ) terhadap para ulama dan orang-orang shalih.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kepada seluruh umat Muslim untuk tidak berbuat ghuluw terhadap diri beliau, maka larangan itu juga tentunya berlaku untuk semua kalangan termasuk dalam hal ini terhadap para ulama dan orang-orang shalih.
Sebagai seorang Muslim yang ta’at dan patuh kepada Alllah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, maka seyogyanya sebagai umat Muslim bersikaplah yang wajar dan hormati dan hargailah ulama sesuai dengan kedudukannya, tidak lebih dari itu, janganlah memuji dan menyanjung ulama melebihi kapasitasnya sebagai ulama.Karena sikap yang yang berlebih lebihan ( ghuluw ) inilah yang menjadikan pintu masuk dan menjerumuskan ke dalam kesyirikan lantaran melabeli mereka dengan sifat-sifat ketuhanan yang hanya pantas bagi Allah. (Wallahu’alam ).
Naskah bersumber dari:
1. Al-Qur’an dan Terjemahan, www.Salafi-DB.com
2. Kitab Hadits 9 Imam, www Lidwa Pusaka .com
3.Fathul Majid ( Terjemahan ),Penjelasan Kitab Tauhid,Dyaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh,Penerbit Pustaka Azzam
4.Perilaku & Akhlak Jahiliyah,Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi, penerbit Pustaka Sumayah
5.Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
6. Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an KH.Qomaruddin dkk, penerbit Diponogoro
7. Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam Abdurrahman bin MNU’alla Al-Luwaihiq,penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
8. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik H.Mahrus Ali, penerbit Laa Tasyuki Press
9. Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’I, penerbit Media Hidayah
10. www.Konsultasi Syariah.com
11.www.Asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar