Rabu, 16 November 2011

MENDAHULUKAN KEPENTINGAN DIRINYA SENDIRI SEBELUM ORANG LAIN DALAM BERIBADAH


O l e h : Musni Japrie al-Pasery

Pada saat berjama’ah dimasjid, sering dijumpai masing-masing orang pada

enggan untuk memilih atau mengambil tempat di shaf didepan, dan biasanya masing-masing orang mempersilahkan temannya atau orang lain untuk menempati/mengisi shaf tersebut ,yang bersangkutan rela mengalah dan sengaja memilih tempat di shaf bagian belakang.

Kondisi sedemikian ditemui pada hampir setiap masjid dan langgar, dimana sepertinya banyak anggota jama’ah sengaja untuk memilihi tempat dibelakang. Meskipun sebenarnya orang- yang shalat mengambil tempat di shaf bagian depan, mempunyai nilai keutamaan.

Kebanyakan orang, akan memberikan kesempatan atau mempersilahkan kepada mereka-mereka yang dianggap telah berumur lebih tua atau mereka yang dianggap mempunyai status atau yang dihormati. Sehingga yang bersangkutan rela untuk pindah ke shaf belakang, sekedar memberikan tempat kepada mereka yang dianggap perlu dihormati. Padahal di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala tinggi rendahnya derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya.

Gambaran yang dikemukan tersebut merupakan salah satu bentuk dari begitu banyak kasus yang terjadi hampir pada setiap kesempatan yang berkaitan dengan pelaksanaan atau kepentingan peribadatan, dimana sebagian orang lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Namun ironisnya yang berkaitan dengan kepentingan duniawi malah orang-orang lebih mendahulukan kepentingan pribadinya daripada kepentingan orang lain. Padahal syari’at islam telah menggariskan bahwa dalam urusan duniawi, maka semestinya yang didahulukan adalah kepentingan orang lain daripada kepentingan semestinya. Sedangkan dalam ibadah maka mendahulukan diri sendiri lebih utama.

Berbicara tentang mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah, maka para ulama akhlu fiqih telah menetapkan kaidah/ushul fiqih bahwa :

Mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah Dibenci. Namun dalam masalah lainnya, disukai. “

Makna kaidah dimaksud adalah bahwa sikap mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya dirinya sendiri yang disebut dengan itsar , sedangkan kebalikannya yang dinamakan atsaroh, bermakna mendahulukan kepentingan dirinya sendiri sebelum orang lain.

Itsar ada dua macam:

Pertama :Itsar dalam perkara duniawi, perkara ini sangat dianjurkan bagi umat islam, dimana setiap orang diperintahkan untuk lebih mendahulukan kepentingan orang lain, daripada kepentinganya sendiri. Dan sikap ini menggambarkan adab dan etika seorang muslim yang berakhlak dalam bermu’amalah atau bersosialisasi ditengah –tengah masyarakat dimana mereka hidup.

K e d u a : Itsar dalam perkara ibadah.

Mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah adalah sesuatu yang dibenci, karena masing-masing orang telah diperintahkan untuk mengagungkan Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh karenanya jika dia tidak melakukannya dan hanya melimpahkan pada orang lain adalah termasuk tindakan kurang adab kepadaAllah Subhanahu Wata’ala.

Banyak hadits Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam yang dijadikan hujjah yaang berkenaan dengan lebih diutamakannya diri masing-masing dalam beribadah ketimbang orang lain.

Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhum, Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Jika orang-orang mengetahui pahala yang ada pada azan dan shaf pertama . kemudian mereka tidak mendapatkan kecuali mengadakan undian , maka pasti mereka mengadakan undian. Jika mereka mengetahui pahala yang ada pada tahjir ( datang awal waktu )), niscaya mereka pada akan berlomba untuk itu.Jika mereka mengetahui pahala yang terdapat dalam shalat Isya dan shalat subuh, niscaya mereka pasti mendatanganinya meskipun dengan merangkat”.(shahih)

Hadits yang agung lagi mulia itu mengandung makna bahwa betapa pahala yang diperoleh mereka yang melakukan azan dan yang mendapatkan shaf pertama, sehingga seandainya untuk dapat melakukan azan atau untuk mendapatkan tempat dalam shalat berjama’ah pada shaf pertama mereka rela bila dilakukan undian, dengan harapan akan mendapatkan kesempatan yang pertama.

Hadits diatas juga menggambarkan betapa seseorang dalam mendapatkan pahala yang berlebih harus memperioritaskan dirinya dalam beribadah, dengan tanpa harus mempertimbangkan untuk memberikan kesempatan yang utama tersebut untuk orang lain.

Selanjutnya dalam hadits Abu Daud, dari Ubay bin Ka’ab, dia berkata: Pada suatu hari, Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam shalat subuh bersama kami, lalu beliau bertanya:

Apakah si Fulan hadir?, Mereka (para sahabat menjawab): Tidak. Beliau bertanya lagi: “ apakah si fulan juga hadir “ .Mereka menjawab : Tidak. Beliau berkata :Sesungguhnya “ dua shalat ini ( maksudnya Isya dan shubuh) adalah shalat yang paling berat bagi kaum munafik. Seandainya kalian tahu (pahala) yang terdapat di dalamnya, niscaya kalian pasti mendatanginya meskipun harus dengan merangkak. Sesungguhnya shaf pertama itu laksana shaf para malaikat. Seandainya kalian tahu keutamaannya, niscaya kalian mendatanginya lebih awal. Sesungguhnya shalat seseorang bersama seseorang lainnya (secara berjama’ah-penj) itu lebih baik daripada shalatnya sendirian, dan shalatnya bersama dua orang lainnya itu lebih baik daripada shalatnya bersama satu orang saja, dan (jumlah jama’ah) yang lebih banyak lagi itu lebih disukai oleh Allah” (hasan)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim rahimahullah no.439 dari Abu Huhairah radhyallaahu ‘anhum, dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam,beliau bersabda :

Seandainya kalian tahu- atau mereka tahu- pahala yang terdapat dalam shaf depan (pertama), niscaya terjadi undian“ (shahih)

Dua hadits yang dikutip diatas memberikan gambaran yang sangat jelas tentang keutamaan melakukan shalat berjama’ah dengan mengambil shaf dibagian depan atau shaf pertama. Oleh Rasullulah disebutkan sebagai laksana shafnya para malaikat. Disebutkan demikian tentunya karena memiliki keutamaan, dan dikatakan juga oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam seandainya orang-orang tahu nilai keutamaan shalat dengan mengambil tempat di shaf depan niscaya orang-orang datang lebih awal, dan bahkan karena keuatamaan tersebut orang-orang pada berebut, sehingga diperlukan adanya undian untuk mendapatkan tempat siapa yang berhak di shaf terdepan tersebut.

Karenanya berdasarkan hujjah yang dikemukan diatas, maka dalam melaksanakan ibadah shalat berjama’ah seseorang itu seharusnya mendahulukan dirinya sendiri diatas uintuk mendapatkan tempat di shaf terdepan, bukan mengalah demi kepentingan orang lain dengan menyuruhnya menempati shaf, sehingga nilai keutamaan tidak diperolehnya

Berlomba-lomba atau saling mendahului untuk mendapatkan shaf terdepan dalam shalat berjama’ah seperti yang digambarkan dalam hadits tgersebut diatas merupakan salah satu bentuk dari penerapan kaidah/ushul fiqih :

Mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah Dibenci. Namun dalam masalah lainnya, disukai. “, karena kaidah tersebut merupakan kunci pegangan bahwa mendahulukan kepentingan dirinya sendiri dalam hal ibadah harus diutamakan. Dengan diambilnya kesempatan pertama untuk menempati shaf terdepan berarti ada upaya untuk meraih nilai keutamaan sebagaimana yang dijanjikan bagi mereka-mereka yang menempati shaf di depan dalam shalat berjamaa.

Untuk mendapatkan shaf di depan dalam shalat berjama’ah dimasjid, maka seseorang haruslah datang lebih awal, dimana pada kesempatan tersebut mungkin shaf di bagian depan tersebut masih belum terisi, namun apabila ia datang terlambat sedangkan shaf di depan sudah ditempati orang lain, maka ia tidak diperbolehkan mengambil hak orang lain yang sudah lebih dahulu menempati shaf tersebut.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf dalam tulisannya di dalam majalah Al-Furqon no..99 Edisi 7 th.ke 9 1431/2010, dibawah judul Kaidah, ada beberapa contoh aktifitas yang berkaitan dengan mendahulukan kepentingan sendiri dalam hal ibadah lebih diutamakan daripada kepentingan orang lain,adalah antara lain :

1. Kalau si Zaid mempunyai air yang hanya cukup untuk wudhu satu orang, sedangkan saat itu dia membutuhkan wudhu, juga temannya yang saat itu sedang bersama dia, maka kewajiban Zaid adalah menggunakan air itu untuk berwudhu bagi dirinya sendiri, dan biarkanlah temannya itu bertayamum. Tidak boleh bagi zaid untuk mempersilahkan temannya berwudhu sedangkan dirinya sendiri bertayamum.

2. Kalau ada seseorang yang hanya mempunyai satu pakaian yang menutupi aurat dan saat itu sedang waktu shalat, sedangkan dia mempunya-I seorang saudara yang tidak memiliki pakaian untuk menutup auratnya. Maka kewajiban yang memiliki pakaian tersebut shalat terlebih dahulu dengan menggunakan pakaiannya, b aruy kemudian nantinya dia pinjamkan kepada saudaranya . Dan tidak b oleh baginya untuk mendahulukan saudaranya tersebut shalat lebih dulu menggunakan pakaiannya. Tidak boleh bagi orang tersebut mendahulukan orang lain dalamperkara ibadah.

3. Kalau ada seseorang yang berada di shaf pertama, maka dia tidak boleh mundur ke shaf kedua untuk mempersilahkan orang lain menempati poosisinya di shaf pertama.

Selain contoh yang dikemukakan diatas, maka banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah sehari-hari yang dilakukan orang tiap-tiap individu, yang seharusnya lebih utama mendahulukan dirinya sendiri, sepertinya misalnya dalam melakukan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Orang yang menyuruh amar ma’ruf nahi munka kepada orang lain, maka ia harus yang pertama-tama terlebih dahulu melakukan perbuatan yang ma’ruf dan meninggalkan perbuatan yang munkar, baru memerintahkan kepada orang lain, sehingga ia dapat dijadikan contoh teladan oleh orang lain. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (taurat)?. Tidakkah kamu mengerti ? “(QS. Al-Baqarah: 44 )

Apabila seseorang yang menyuruh kepada perbuatan ma’ruf atau melarang dari perbuatan munkar, tetapi yang bersangkutan tidak lebih dahulu melakukan sendiri perbuatan yang baik tersebut maka bahayanya tidak hanya terbatas pada dirinya sendiri, bahkan biasanya terkena kepada orang lain karena ia menjadi teladan yang buruk bagi masyarakat disekelilingnya

Dalih atau alasan yang dijadikan pertimbangan mengapa dalam melakukan ibadah harus mendahulukan diri sendiri, daripada orang lain, tiada lain hanyalah semata untuk melaksanakan atau menggugurkan kewajiban yang telah dibebankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada masing-masing individu manusia untuk beribadah kepada-Nya semata. Selain itu juga untuk mendapatkan keutamaan berupa ganjaran pahala atas perbuatan baiknya dalam memberikan perhatian dan mendahulukan kepentingan terhadap pelaksanaan ibadah.

Sehubungan dengan ketetapan kaidah/ushul fiqih mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah, dibenci , namun dalam masalah lainnya di sukai, maka sudah sepantasnya kita untuk bersegera melaksanakannya, agar kita mendapatkan nilai-nilai keutamaan berupa ganjaran pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Insya Allah kita termasuk dalam kalangan orang yang berusaha untuk mendapatklan berbagai kebaikan dalam islam ( Wallaahu ‘alam bissawaf)

Samarinda, selesai ditulis Jum’ah ba’da ashar tanggal 26 Sya’ban 1431 H/ 7 Agustus 2010 M.

Sumber bacaan : Majalah Al-Furqon No.99 Edisi 7 Th.ke -9 1431/2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar