P e n d a h u l u a n
Dewasa ini di seluruh penjuru
negeri yang mayoritas penghuninya adalah penganut Islam telah memberikan perhatian dan kedudukan yang khusus dan
istimewa terhadap nasi tumpeng. Coba perhatikan hampir pada setiap acara yang
dilakukan baik oleh kalangan atas, menengah maupun dilingkungan masyarakat
awam, baik dilingkungan organisasi apa saja, di lingkungan instansi pemerintah,
perusahaan atau secara perorangan tidak
pernah ketinggalan menyediakan yang namanya nasi tumpeng. Nasi tumpeng telah
menjadi ikon dalam berbagai acara yang berkaitan dengan hajatan, kenduri,
syukuran, ulang tahun, berbagai macam acara peletakan batu pertama atau
peresmian proyek-proyek yang biasanya ditandai dengan pemotongan nasi tumpeng.
Begitu pula pada dilakukannya upacara adat baik berupa pesta sedekah laut dan
sedekah bumi. Pihak penyelenggara acara merasa bahwa tidaklah lengkap sebuah
acara apabila tidak tersedia nasi tumpeng. Sehingga banyak orang selalu
berusaha menyediakan nasi tumpeng sebnagai hal yang utama.
Tidak dilupakannya menyediakan
nasi tumpeng dalam berbagai ragam acara, dikarenakan nasi tumpeng di kalangan
masyarakat tertentu nasi tumpeng dianggap mempunyai keutamaan dan mengandung
berkah. Karenanya mereka beranggapan bahwa dengan menyediakan nasi tumpeng agar
acara yang diselenggarakan akan memberikan kebaikan bagi mereka.
Selain mengandung keutamaan
berupa keberkahan, disediakannya nasi tumpeng dalam berbagai acara adalah dalam
rangka mewujudkan rasa syukur kepada yang Maha Pencipta atas segala macam
nikmat yang diberikan kepada manusia. Sebagai rasa terimakasih atas segala
pemberian dari Maha Pencipta tersebut maka oleh manusia dibuktikan dengan
menyediakan nasi tumpeng.
Berkaitan dengan perwujudan rasa
syukur melalui nasi tumpeng ini, maka kiranya perlu dikritisi bagaimana
syari’at Islam memandangnya,apakah hal semacam ini sejalan dengan syari’at
yaitu Kitabullah dan as-Sunnah Rasullullah. Karena sebagaimana yang kita
maklumi bahwa mereka-mereka yang menganggap bahwa nasi tumpeng yang disajikan
dalam acara-acara hajatan,kenduri atau syukuran sebagian terbesar adalah dari
kalangan masyarakat Islam.
Sepintas Kilas Tentang Nasi Tumpeng
Dalam Wikipedia Indonesia
disebutkan bahwa : Masyarakat di pulau
Jawa, Bali dan Madura memiliki kebiasaan membuat tumpeng untuk kenduri atau
merayakan suatu peristiwa penting. Meskipun demikian kini hampir seluruh rakyat
Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi
geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi.
Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung
sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang).
Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi
yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci
Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng telah
ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada
perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap
sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi
kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan
dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa,
"Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa : yen metu kudu sing
mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit
makanan lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen
mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan lauk-pauknya
tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan
(pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al
Isra' ayat 80: "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan
keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu
kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan". Menurut beberapa ahli
tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota
Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan
Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar
kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh
kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita
mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Tumpeng merupakan bagian penting
dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa
syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan
berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini
tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta
ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran, atau
slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk
tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling
terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang
yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang
tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati
tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima
kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
Acara yang melibatkan nasi
tumpeng disebut secara awam sebagai 'tumpengan'. Di Yogyakarta misalnya,
berkembang tradisi 'tumpengan' pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Bersyukur Menurut Syari’at
“Syukur adalah pujian bagi orang yang
memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah
karya Al Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur adalah berterima
kasih.
Sedangkan istilah syukur dalam
agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim:
الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada
dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran
diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan
kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan
kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244)
Lawan dari syukur adalah kufur
nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia
dapatkan adalah dari Allah Ta’ala. Semisal Qarun yang berkata:
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu
yang aku miliki” (QS. Al Qashash: 28)
Syukur adalah salah satu sifat Allah
Ketahuilah bahwa syukur
merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang husna. Yaitu Allah pasti
akan membalas setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya, tanpa luput
satu orang pun dan tanpa terlewat satu amalan pun. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya Allah itu Ghafur dan Syakur” (QS. Asy Syura: 23)
Seorang ahli tafsir, Imam Abu
Jarir Ath Thabari, menafsirkan ayat ini dengan riwayat dari Qatadah: “Ghafur
artinya Allah Maha Pengampun terhadap dosa, dan Syakur artinya Maha Pembalas
Kebaikan sehingga Allah lipat-gandakan ganjarannya” (Tafsir Ath Thabari,
21/531)
Dalam ayat yang lain, Allah
Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Allah itu Syakur lagi Haliim” (QS. At Taghabun: 17)
Ibnu Katsir menafsirkan Syakur
dalam ayat ini: “Maksudnya adalah memberi membalas kebaikan yang sedikit dengan
ganjaran yang banyak” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 8/141)
Sehingga orang yang merenungi
bahwa Allah adalah Maha Pembalas Kebaikan, dari Rabb kepada Hamba-Nya, ia akan
menyadari bahwa tentu lebih layak lagi seorang hamba bersyukur kepada Rabb-Nya
atas begitu banyak nikmat yang ia terima.
Syukur adalah ibadah
Allah Ta’ala dalam banyak ayat
di dalam Al Qur’an memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka
syukur adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah. Allah Ta’ala
berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, maka Aku
akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah ingkar” (QS. Al
Baqarah: 152)
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”
(QS. Al Baqarah: 172).
Maka bersyukur adalah menjalankan
perintah Allah dan enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah
bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.
Tanda-tanda orang yang bersyukur
1. Mengakui dan menyadari bahwa Allah telah
memberinya nikmat
Orang yang bersyukur senantiasa
menisbatkan setiap nikmat yang didapatnya kepada Allah Ta’ala. Ia senantiasa
menyadari bahwa hanya atas takdir dan rahmat Allah semata lah nikmat tersebut
bisa diperoleh. Sedangkan orang yang kufur nikmat senantiasa lupa akan hal ini.
فعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: مطر الناس على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم : «أصبح من الناس شاكر ومنهم كافر، قالوا: هذه رحمة الله. وقال بعضهم: لقد صدق نوء كذا وكذا»
“Dari Ibnu Abbas
Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika itu hujan turun di masa Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Nabi bersabda: ‘Atas hujan ini, ada manusia
yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata: ‘Inilah
rahmat Allah’. Orang yang kufur nikmat berkata: ‘Oh pantas saja tadi
ada tanda begini dan begitu’” (HR. Muslim no.243)
2. Menyebut-nyebut nikmat yang diberikan
Allah
sesungguhnya orang yang
bersyukur itu lebih sering menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah berikan.
Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan nikmat yang diberikan oleh
Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya” (QS. Adh Dhuha: 11)
3. Menunjukkan rasa syukur dalam bentuk
ketaatan kepada Allah
Sungguh aneh jika ada orang yang
mengaku bersyukur, ia menyadari segala yang ia miliki semata-mata atas keluasan
rahmat Allah, namun di sisi lain melalaikan perintah Allah dan melanggar
larangan-Nya, ia enggan shalat, enggan belajar agama, enggan berzakat, memakan
riba, dll. Jauh antara pengakuan dan kenyataan. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan
Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS. Al Imran: 123)
Maka rasa syukur itu ditunjukkan
dengan ketakwaan.
Cara-Cara Menunjukkan kesyukuran
1.Berterima kasih kepada manusia
Salah cara untuk mensyukuri
nikmat Allah adalah dengan berterima kasih kepada manusia yang menjadi
perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:
لا يشكر الله من لا يشكر الناس
“Orang yang tidak berterima
kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Tirmidzi
no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
Oleh karena itu, mengucapkan
terima kasih adalah akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صنع إليه معروف فقال لفاعله: جزاك الله خيرا فقد أبلغ في الثناء
“Barangsiapa yang diberikan satu
kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan: ‘Jazaakallahu khayr’
(semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah
mencukupinya dalam menyatakan rasa syukurnya” (HR. Tirmidzi no.2167, ia berkata:
“Hadits ini hasan jayyid gharib”)
2. Merenungkan nikmat-nikmat
Allah
Dalam Al Qur’an sering kali
Allah menggugah hati manusia bahwa banyak sekali nikmat yang Ia limpahkan sejak
kita datang ke dunia ini, agar kita sadar dan bersyukur kepada Allah. Allah
Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl: 78)
3. Qana’ah
Senantiasa merasa cukup atas
nikmat yang ada pada diri kita membuat kita selalu bersyukur kepada Allah.
Sebaliknya, orang yang senantiasa merasa tidak puas, merasa kekurangan, ia
merasa Allah tidak pernah memberi kenikmatan kepadanya sedikitpun. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كن ورعا تكن أعبد الناس ، و كن قنعا تكن أشكر الناس
“Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi hamba
yang paling berbakti. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi
hamba yang paling bersyukur” (HR. Ibnu
Majah no. 4357, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)
4. Sujud Syukur
Salah satu cara untuk
mengungkapkan rasa syukur ketika mendapat kenikmatan yang begitu besar adalah
dengan melakukan sujud syukur.
عن أبي بكرة نفيع بن الحارث رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جاءه أمر بشر به خر ساجدا؛ شاكرا لله [أبو داود]
“Dari Abu Bakrah Nafi’ Ibnu
Harits Radhiallahu’anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
biasanya jika menjumpai sesuatu yang menggemberikan beliau bersimpuh untuk
sujud. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah” (HR. Abu Daud no.2776,
dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil)
5. Berdzikir
Berdzikir dan memuji Allah
adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah. Ada beberapa dzikir tertentu yang
diajarkan oleh Rasulullah khusus mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
«من قال حين يصبح: اللهم ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك، فلك الحمد ولك الشكر. فقد أدى شكر يومه، ومن قال ذلك حين يمسي فقد أدى شكر ليلته» [أبو داود]
“Barangsiapa pada pagi hari
berdzikir: Allahumma ashbaha bii min ni’matin au biahadin min khalqika faminka
wahdaka laa syariikalaka falakal hamdu wa lakasy syukru.”
(Ya Allah, atas nikmat yang
Engkau berikan kepada ku hari ini atau yang Engkau berikan kepada salah seorang
dari makhluk-Mu, maka sungguh nikmat itu hanya dari-Mu dan tidak ada sekutu
bagi-Mu. Segala pujian dan ucap syukur hanya untuk-Mu)
Maka ia telah memenuhi harinya
dengan rasa syukur. Dan barangsiapa yang mengucapkannya pada sore hari, ia telah
memenuhi malamnya dengan rasa syukur.” (HR. Abu Daud no.5075, dihasankan oleh
Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap kitab Raudhatul
Muhadditsin)
Mewujudkan Syukur Dengan Nasi Tumpeng Cara bersyukur yang
salah
Ritualiasasi rasa syukur yang
tidak diajarkan agama.Mengungkapkan rasa syukur dalam bentuk ritual sah-sah
saja selama ritual tersebut diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam. Misalnya dengan sujud syukur atau dengan
melafalkan dzikir. Andaikan ada bentuk lain ritual rasa syukur yang baik untuk
dilakukan tentu sudah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
serta para sahabat.
Lebih lagi sahabat Nabi yang
paling fasih dalam urusan agama, paling bersyukur diantara ummat Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mereka jumlahnya puluhan ribu dan diantara
mereka ada yang masih hidup satu abad setelah Rasulullah wafat, sebanyak dan
selama itu tidak ada seorang pun yang terpikir untuk membuat ritual semacam
perayaan hari ulang tahun, ulang tahun pernikahan, syukuran rumah baru, sebagai
bentuk rasa syukur mereka. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang melakukan amalan (ibadah) yang tidak
berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Bukhari no.20, Muslim no.4590)
Mengingat bahwa bersyukur kepada Allah subhanahu wa
ta’ala adalah bagian dari agama yang telah diatur dalam syari’at, maka untuk
mewujudkan rasa syukur tersebut tidak dibolehkan dengan mengada-adakan kegiatan
lain seperti menyelenggarakan hajatan syukuran selamatan dengan menyiapkan nasi
tumpeng sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam selama ini.
Menyiapkan nasi tumpeng kemudian memotongnya sebagfai wujud rasa syukur
kjepoada Allah azza wa jalla adalah perbuatan bid’ah, karena tidak ada satupun
hadits yang mau’du, dhaif apalagi yang shahih yang membicarakan hal
tentang syukuran dengan nasi tumpeng.
Baik Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam, para sahabat radhyallahu’anhu,
para tabi’in rahimahullah maupun para tabi’ut tabi’in serta para ulama shalaf
(terdahulu) samasekali tidak pernah melakukannya.
Mewujudkan rasa syukur kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyiapkan nasi tumpeng baru dilakukan beberapa waktu terakhir ini,
dan ini merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang dalam agama.
Mewujudkan Rasa
Syukur Dengan Nasi Tumpeng Perbuatan Tasyabbuh (Mengikuti) Tradisi
Leluhur Yang Jahiliyah.
Dibagian awal dikemukan tentang
asal usul dari nasi tumpeng yang dikutip dari Wikipedia Indonesia yang
menyebutkan bahwa tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang
memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur
(nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh
kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru
bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng telah
ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada
perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Jawa, dan dianggap
sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Menurut
tradisi masyarakat Jawa, bila seseorang
berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan
kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar
dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Tumpeng
merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau
kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas
melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
sesungguhnya sebelum masuknya Islam yang mengajak kepada tauhid mengesakan
Allah, masyarakat Indonesia jaman dahulu adalah masyarakat yang menganut kepada
kepercayaan animisme dan dinamisme yang kesemuanya adalah sebagai masyarakat
jahiliyah. Karenanya, maka tradisi sajian
nasi tumpeng dalam rangka mewujudkan kesyukuran kepada dewa-dewi yang
dianggap sebagai sang pencipta dan yang berkuasa merupakan tradisinya
masyarakat jahiliyah.
Lalu bagaimanakah dengan
perilaku sebagian masyarakat di negeri ini yang dalam setiap acara apa saja
tidak pernah lupa menyajikan nasi tumpeng dengan dalih melestarikan dan
mempertahankan budaya warisan leluhur.
Apa yang dilakukan mereka tersebut tidak lain adalah sebagai perbuatan
meniru-niru, menyerupai,menyamai dan mengikuti ( tasyabbuh) terhadap masyarakat
jahiliyah yang syirik.
Islam Melarang Umatnya untuk Meniru-niru, Mencontoh,
Menyerupai, Mengikuti, dan Menyamai Umat Lain ( Tasyabbuh)
Bahwa sesungguhnya Islam dengan
seluruhnya syari’atnya sudah sempurna dan sangat lengkap untuk dijadikan panduan
atau tuntunan oleh pemeluknya
sampai-sampai hal yang sangat sepele tentang adab buang air saja sudah
diajarkan. Karena sudah lengkap sudah barang tentu tidak boleh ada lagi
tambahan-tambahan yang datangnya dari mana saja, termasuk tentunya mencontoh atau
meniru-niru dari agama lain. Kalau memang tidak ada petunjuknya maka berarti
itu memang tidak dibolehkan untuk dilakukan.
Sikap meniru-niru atau mencontoh
atau menyerupai kepada kalangan agama lain oleh orang-orang islam , jauh-jauh
hari telah disinyalir oleh Rasullulah shalalahu alaihi wasallam yang tergambar
dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id bin Al-Khudri
:
Rasullullah shallallahu’alahi wa
sallam bersabda :
صحيح البخاري ٣١٩٧: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Shahih Bukhari 3197: dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam besabda: "Kalian pasti akan mengikuti
kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta
demi sehasta hingga seandainya mereka manempuh (masuk) ke dalam lobang biawak
kalian pasti akan mengikutinya". Kami bertanya; "Wahai Rasulullah,
apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nashrani?". Beliau menjawab:
"Siapa lagi (kalau bukan mereka) ".
Sabda Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح البخاري ٦٧٧٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
Shahih Bukhari 6774: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hari kiamat tidak akan
terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?" Nabi menjawab:
"Manusia mana lagi selain mereka itu?"
Dalam buku Tasyabbuh yang
Dilarang dalam Fiqih Islam oleh Syaikh
Jamil bin Habib Al- Luwaihiq
disebutkan bahwa: Ketika Islam
melarang umatnya untuk bertasyabbuh memang telah disengaja oleh Penetap
Syariat. Harapannya adalah agar setiap muslim tampil dengankondisi yang paling
sempurna sesuai dengan dirinya. Hukum-hukum syari’at juga telah muncul dengan
larangan untuk mengikuti bangsa bangsa kafir terdahulu dan terkini.
Tasyabbuh (latah, meniru-niru,
menyerupai, mirip) secara umum adalah salah satu permasalahan yang sangat
berbahaya bagi kehidupan kaum muslimin, khususnya di abad-abad belakangan ini
karena meluasnya daerah interaksi kaum muslimin dengan pihak-pihak lain.
Dalam bukunya Bahaya Mengekor
Non Muslim Muhammad Bin ‘Ali Adh Dhabi’i menyebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata bahwa Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari
Ibnu ‘Umar,ia berkata bahwa Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.
(HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dan dishahihkan oleh
Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Dari penjelasan yang rinci
tersebut diatas maka sesungguhnya melakukan syukuran atau hajatan dan banyak
acara yang dilakukan oleh banyak orang islam dewasa ini dengan menyajikan nasi
tumpeng termasuk perbuatan yang dilarang dan harus ditinggalkan. Sangatlah
keliru dengan dalih mempertahankan dan melestarikan tradisi dan budaya leluhur
namun terpaksa melakukan perbuatan syirik. Dan ini merupakan perbuatan
mengorbankan aqidah hanya untuk sekedar agar disebut sebagai masyarakat yang
melestarikan budaya.
Penutup
Sesungguhnya segala macam nikmat
yang namanya apa saja yang diperoleh dan dirasakan oleh setiap makhluk termasuk
di dalamnya manusia baik yang bersifat kecil hingga yang besar seluruhnya
adalah pemberian atau anugerah dari Allah yang Maha Pemberi sebagai bentuk dari
kasih sayang-Nya. Atas pemberian dan
anugerah tersebut wajib bagi umat manusia untuk mensyukurinya sebagai rasa
terimakasih yang tertinggi kepada pemberi nikmat tersebut yakni Allah Yang Maha
Esa, Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Pencipta.
Rasa terimakasih yang paling
tertinggi tersebut diwujudkan dengan melakukan keta’atan kepada Allah berupa
pelaklasaan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya dan beribadah
hanya kepada-Nya. Selain itu rasa syukur diwujudkan pula dengan menyampaikan
pujian dan sanjungan yang paling tinggi yang hanya boleh ditujukan kepada-Nya.
Karenanya sangatlah keliru apa
yang dilakukan oleh banyak orang dewasa ini yang mewujudkan rasa syukur dengan
nasi tumpeng , perbuatan syukuran seperti hal tersebut adalah perbuatan
mengada-ada ( bid’ah) dan juga sekali gus bertasyabbuh (menyerupai,
meniru-niru, mengikuti, menyamai) orang-orang/kaum jahiliyah masa lampau,
bahkan menjurus kepada perbuatan syirik . Sehingga untuk itu perlu dijauhi dan
ditinggalkan.
Semoga Allah menjadikan kita
hamba-Nya yang senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya.
اللهم أعني على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتك
“Ya Allah aku memohon pertolonganmu agar Engkau menjadikan aku hamba
yang senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepadamu dengan baik”
Sumber bacaan :
1. Al-Qur’an dan terjemahan (
Departemen Agama RI)
2. Ensiklopedi hadits Kitab 9
Imam www.lidwapusaka.com
3. Tasyabbuh yang Dilarang Dalam
Fiqih Islam Jamil bin Habib Al-Luwaihiq.
4. Bahaya Mengekor non Muslim
Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’i
5. Parasit Aqidah A.D.
El.Marzdedeq.
6. Mengupas Sunnah Membedah
Bid’ah.
7. Risalah Bid’ah Abdul Hakim
bin Amir Abdat.
8.wikipedia Indonesia
9.Tazkiyatun Nafs Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah
10.Manajemen Qalbu Ulama Salaf
Syaikh DR. Ahmad Farid
Samarinda,selesai disusun
menjelang dzuhur, Isnin 10 Safar 1434 H/24 Desember 2012 M
( Musni Japrie )