Bulan Suro –yang dalam Islam dikenal dengan bulan
Muharram- terkenal sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking
sakralnya berbagai keyakinan keliru bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual
yang berbau syirik pun tak tertinggalan dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram
dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia. Namun kenapa mesti dinodai dengan
hal-hal semacam itu?
Bulan
Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang
Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang
dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut (yang artinya), ”Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci).
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu
Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Setahun berputar
sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu
ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya
berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi
adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[1]
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan
haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram
karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan.
Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut
larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang
lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah
baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[2]
Bulan
Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah
(puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram.
Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat
malam.”[3]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam
Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan
Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab,
”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga
bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada
Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan
istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak
pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu
Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan
istimewa.
Bulan
Suro, Bulan Penuh Bencana dan Musibah
Itulah berbagai tanggapan sebagian orang mengenai
bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual
untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di
antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat
diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi
mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal),
kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit
dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala,
simbol kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai
sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan
ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang
tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini
bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar,
mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat
mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas
tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan
waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu
adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela
waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
Mencela
Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu
adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan
dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini
tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak
ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)”, dan mereka sekali-kali
tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu
yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini
berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan
mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa
Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku
adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.”[5]
Jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang
telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Kenapa
demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan
malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah
bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela
Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Merasa
Sial dengan Waktu Tertentu
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan.
(Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita
yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah
dengan bertawakkal.”[6]
Ini berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu
baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah
suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Jangan Salahkan Bulan Suro!
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang
menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu!
Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang
muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh
bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah
tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada
sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat.
Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza
wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi,
hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan
bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah
Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat
terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur
kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia
mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia
lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada
Allah Ta’ala.”[7]
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan
dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah
atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga
karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika
melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah
’azza wa jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan
sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di
antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun
acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan
keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika
ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu
baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi
Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua
pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena
Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Yang Mesti Dilakukan: Isilah Bulan Muharram dengan
Puasa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong
kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah
- Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah
shalat malam.”[8]
Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling
ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal
10 Muharram. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun
yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan
menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga
ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura
akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[9]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa
Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya.
Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul
Kitab.[10]
Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad,
Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada
hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga
pada hari kesembilan.[11]
Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus
yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada
dua tingkatan yaitu: [1] Tingkatan yang
lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus, dan [2]
Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[12]
Insya Allah tanggal 10 Muharram jatuh pada tanggal
27 Desember 2009 sedangkan tanggal 9 Muharram jatuh pada tanggal 26 Desember
2009.
Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan
puasa ini. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan
nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
6 Muharram 1431 H, di Pogung Kidul, Jogja
[1] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat
At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir
[3] HR. Muslim no. 2812
[4] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As
Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H
[5] HR. Muslim no. 6000
[6] HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits
ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
[7] Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il
Jahiliyyah
[8] HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah.
[9] HR. Muslim no. 1162.
[10] HR. Muslim no. 1134, dari Ibnu ‘Abbas.
[11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim, 8/12-13.
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Ibrahim bin ‘Amir Ar
Ruhaili, hal. 128, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Di copy paste dari Artikel http://rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar