Gambar : Kuburan Wali yang dikeramatkan.
Fenomena bernazar akan menyembelih kambing atau melakukan sesuatu pada kuburan keramat apabila sesuatu yang dicita-citakan terkabul sebagaimana kejadian nyata tersebut diatas sepertinya sudah bukan hal yang asing lagi bagi sebagian umat muslim di negeri ini. Karena setiap hari ribuan orang yang umumnya umat Islam datang berbondong-bondong menziarahi kuburan-kuburan keramat yang banyak tersebar di seluruh pelesok terutama di pulau Jawa yang terkenal dengan kuburan keramat wali songo, dimana diantara mereka tersebut sebagian besar dalam rangka melaksanakan nazarnya. Mereka membayar nazar karena apa yang dicita-citakan terkabul, seperti mendapatkan jodoh, sukses dalam berusaha, rezekinya terus meningkat, mendapatkan momongan setelah sekian lama menikah, mendapatkan jabatan dan promosi, mendapatkan kenaikan pangkat dan banyak ragam cita-cita yang lainnya.
Sedangkan hal-hal yang dinazarkan untuk dilakukan di kuburan-kuburan keramat tersebut bermacam-macam pula, ada yang akan menyembelih kambing, ada yang membangunkan kubah kuburan, membangunkan pagar kuburan, membuatkan kelambu yang baru bagi kuburan, menyelenggarakan selamatan dan member makan kepada para peziarah dan ada pula sekedar menziarahi dan beribadah di sisi kuburan sebagaimana yang telah dinazarkan sebelumnya. Atau ada pula yang datang untuk membagi-bagikan sedekah kepada para pengemis yang biasanya banyak meminta-minta kepada para peziarah.
Berkenaan dengan hal nazar ini, maka kiranya perlu diungkapkan secara sepintas tentang bagaimana menurut syari’at Islam tentang bernazar kepada kuburan keramat, agar mereka-mereka yang masih awam tentang hal ini ( nazar) akan dapat mengambil manfaatnya.
A. Nazar Menurut Syari’at Islam
1.Apakah Nazar itu ?
Nazar adalah perbuatan seorang mukallaf (orang yang sudah dikenai beban syariat) yang mewajibkan dirinya sendiri untuk mengerjakan suatu ibadah karena Allah, baik nazarnya itu secara mutlak maupun dengan persyaratan tertentu. Di dalam al-Qur’an Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Ini menunjukkan bahwa menunaikan nazar adalah perkara yang disukai Allah, dan tidaklah sesuatu itu disukai (Allah) kecuali sesuatu itu pasti disyariatkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
صحيح البخاري ٦٢٠٢: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
Shahih Bukhari 6202: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Malik dari Thalhah bin Abdul Malik dari Al Qasim dari 'Aisyah radliallahu 'anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, hendaknya ia menaati-NYA, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepadaNya, maka janganlah ia perturutkan untuk bermaksiat kepadaNYA."
2.Macam-Macam Nazar
Nazar ada dua macam yaitu :
a. Nazar Muthlaq dan
b. Nazar Muqoyyad.
Nazar Muthlaq ialah apabila ada seorang yang mewajibkan dirinya sendiri untuk melaksanakan suatu ibadah kepada Allah tanpa ada persyaratannya. Seperti contohnya dengan mengatakan: Aku bernazar kepada Allah akan sholat 2 rakaat. Dan nazar jenis ini bukan termasuk nazar yang dibenci Nabi shollAllahu alaihi wa sallam.
Sedangkan Nazar Muqoyyad ialah apabila ada seorang yang mewajibkan dirinya sendiri untuk melaksanakan suatu ketaatan dengan syarat tertentu. Misalnya dengan mengatakan: Apabila Allah menyembuhkan penyakitku aku bernazar kepada Allah akan menyedekahkan ini atau itu. Nazar jenis inilah yang tidak disukai oleh Nabi sebagaimana dalam hadits beliau bersabda,
Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama sekali tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nazar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1639)
[Diringkas dari At Tamhiid hal. 159].
Ditinjau dari sah dan tidaknya nazar ada 5 macam:
a.Nazar taat dan ibadah, ini wajib ditunaikan dan bila dilanggar harus membayar kaffarah (tebusan). Yang dimaksudkan disini ialah seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernazar untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun jika seseorang bernazar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap nazar karena hal tersebut sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat nazar.
Hukum penunaian nazar taat adalah wajib, baik nazar tersebut nazar mu’allaq atau nazar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.” (HR. Bukhari no. 6696)
Ada pula hadits lain dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,
أَنَّ عُمَرَ - رضى الله عنه - نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ - قَالَ أُرَاهُ قَالَ - لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَوْفِ بِنَذْرِكَ »
“Dahulu di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bernazar untuk beri’tikaf di masjidil haram –yaitu i’tikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, ‘Tunaikanlah nazarmu’.” (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)
Jika nazar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika nazar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernazar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nazar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?
Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nazar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah
b.Nazar mubah, yaitu bernazar untuk melakukan suatu perkara yang mubah/diperbolehkan dan bukan ibadah maka boleh memilih melaksanakannya atau membayar kaffarah. Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam.” Nazar seperti ini bukanlah nazar taat, namun nazar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nazar.
c.Nazar maksiat, nazarnya sah tapi tidak boleh dilaksanakan dan harus membayar kaffarah. Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman mabuk-mabukan.” Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits
,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,
النذر نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة يمين
“Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah.” (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 479)
d.Nazar makruh, yaitu bernazar untuk melakukan perkara yang makruh maka memilih antara melaksanakannya atau membayar kaffarah.
e.Nazar syirik, yaitu yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah maka nazarnya tidak sah dan tidak ada kaffarah, akan tetapi harus bertaubat karena dia telah berbuat syirik akbar (lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid buah pena Ustadz Abu Isa hafizhohulloh hal. 82).
2. Hukum Nazar
a.Syari’at Islam Tidak Memerintahkan Untuk Bernazar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
نَهَى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernazar, beliau bersabda: ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ
“Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa nazar itu terlarang. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang memakruhkan bernazar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka nazar tersebut tetap wajib ditunaikan.
Perlu juga diketahui bahwa kenapa dilarang untuk bernazar sebagaimana disebut dalam hadits-hadits larangan? Jawabnya, agar jangan disangka bahwa tujuan nazar itu pasti terwujud ketika seseorang bernazar atau jangan disangka bahwa Allah pasti akan penuhi maksud nazar karena nazar taat yang dilakukan. Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama sekali tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nazar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1639)
Jadi larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang nazar adalah larangan yang bersifat makruh. Hal ini untuk memberi petunjuk bahwa ada cara yang lebih afdhal, yaitu sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti mewajibkan diri dengan bernazar. Atau kita bisa bernazar dengan nazar yang tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita sembuh, “Aku ingin bernazar dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa.” Di sini tidak disebutkan syarat, namun dilakukan hanya dalam rangka bersyukur pada Allah.
b. Wajibnya Menunaikan Nazar
Meskipun nazar bukan merupakan perintah agama, namun bagi siapa-siapa yang bernazar maka inya Allah mewajibkan baginya diwajibkan apa yang telah dinazarkannya. Ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)
Allah Ta'ala juga berfirman
,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
"Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS. Al Baqarah: 270).
Bagi mereka yang menunaikan nazarnya dipuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala , sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)
Selain dari itu ada pula hadits riwayat Imam Bukhari rahimahullah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
c. Berdosanya Orang-orang yang Tidak Menunaikan Nazarnya
Apabila seseorang bernazar untuk melakukan sesuatu apabila hajatnya terkabul, kemudian setelah hajatnya terkabul yang bersangkutan ingkat akan nazarnya dan tidak mau melaksanakan/menunaikan nazarnya tersebu maka orang tersebut telah berdosa. Hal ini ditegaskan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dari Imran :
خَيْرُكُمْ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ - قَالَ عِمْرَانُ لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ - ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، ...
“Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-. Kemudian datanglah suatu kaum yang bernazar lalu mereka tidak menunaikannya, .... ” (HR. Bukhari no. 2651). Hadits ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan nazar.
Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum nazar adalah sunnah.
c.Larangan Bernazar Untuk Selain Allah
Nazar itu hanya boleh ditujukan kepada Allah sedangkan nazar selain kepada Allah seperti bernazar kepada kuburan para wali atau kuburan yang dikeramatkan merupakan perbuatan yang diharamkan
Asy Syaikh Sulaiman Alu Syaikh dalam “Taisir” hal. 162, menukilkan ucapan Al Imam Al Adzru’i seorang ulama’ Syafi’iyah, beliau berkata : “Dan adapun nadzar untuk tempat yang dibangun pada kuburan wali, syaikh atau dibangun atas nama seorang wali yang pernah singgah dan berulang kali datang ke tempat itu, maka apabila orang yang bernadzar meniatkan – yang kebanyakan niatnya seperti itu – untuk mengagungkan tempat, majelis, atau suatu sudut tempat beribadah orang sholih, atau orang yang di dalam kuburan, nama orang yang dibuat majelis karenanya, maka nadzarnya batil. Sebab, sesungguhnya mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat tersebut memiliki kekhususan. Mereka menganggap tempat-tempat tersebut merupakan sebab dicegahnya suatu bala’, diraihnya kenikmatan-kenikmatan, dengannya pula disembuhkannya penyakit-penyakit. Sampai-sampai mereka bernadzar kepada sebagian bebatuan tatkala ada yang menceritakan bahwa batu-batu itu pernah diduduki orang sholih. Mereka bernadzar kepada sebagian kubur-kubur dengan memberi pelita, lilin, atau minyak.
Lalu mereka mengatakan : “Kubur si Fulan atau tempat si Fulan menerima nadzar”. Mereka memaksudkan dengan ucapan tersebut dapat teraih segala keinginan, seperti kesembuhan, kembalinya sesuatu yang hilang, keselamatan harta dan macam-macam nadzar mujazah (muqoyyad) yang lainnya. Nadzar dalam bentuk seperti tadi adalah batil dan tidak ada keraguan akan kebatilannya. Bahkan nadzar untuk memberi minyak, lilin dan selainnya kepada kubur adalah batil secara mutlak.
Di antara contoh nadzar seperti itu adalah nadzar untuk memberi lilin yang banyak dan besar kepada kubur Nabi Ibrohim ‘alaihissalam atau selain beliau dari para nabi atau orang-orang sholih. Tidaklah seorang yang bernadzar untuk memberi pelita kepada kubur tersebut melainkan pasti dalam rangka tabarruk dan pengagungan padanya.
Mereka menyangka bahwa perbuatan tersebut adalah taqarrub (kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala ). Padahal tidak diragukan lagi tentang batilnya perbuatan tersebut, memberikan cahaya seperti tadi adalah haram, baik orang yang bernadzar itu mendapatkan manfaat atau pun tidak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalam “Iqtidlo’ Shirotil Mustaqim” 2/158-160 berkata : “Dan lebih jelek dari itu (safar ke suatu tempat tertentu yang tidak disyariatkan untuk mendapatkan barokah), seseorang bernadzar dalam rangka mempersembahkan minyak tanah untuk menerangi tempat tersebut. Lalu dikatakan tempat itu menerima nadzar sebagaimana ucapan orang-orang sesat. Sesungguhnya nadzar seperti itu adalah nadzar maksiat menurut kesepakatan para ulama. Tidak boleh ditunaikan akan tetapi wajib bagi orang yang telah bernadzar tersebut untuk membayar kafaroh (tebusan) menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya Al Imam Ahmad. Ini adalah pendapat yang masyhur dari beliau. Namun beliau juga punya pendapat lain yang persis dengan pendapat Abu Hanifah, Al Imam Syafi’i dan selain keduanya, bahwa wajib bagi orang tersebut meminta ampun kepada Allah dari nadzarnya. Tidak ada kafaroh baginya, dan permasalahan ini sangat ma’ruf.
Demikian halnya jika seorang bernadzar memberikan sebuah roti atau selainnya untuk ikan-ikan yang ada di mata air atau sumur tertentu (dalam rangka tabarruk). Demikian juga jika bernadzar dengan harta baik berupa uang atau selainnya untuk penjaga makam atau orang-orang yang beri’tikaf di tempat itu. Sesungguhnya mereka para penjaga makam itu mirip dengan para penjaga makam yang ada pada berhala Latta, Uzza dan Manat. Mereka makan harta manusia dengan batil. Mencegah manusia dari jalan Allah. Ada pun orang-orang yang beri’tikaf di tempat itu mirip dengan orang-orang yang beri’tikaf, yang diajak bicara Ibrohim Al Kholil, imam orang-orang yang bertauhid, beliau ? berkata
: مَاهَذِه التَّمَاثِيْلُ الَّتِي أَنْتُمْ لها عَاكِفُونَ
“Berhala apa ini yang kalian beriktikaf di dekatnya?”. (QS. Al Anbiyaa’ : 52) Beliau juga berkata
: أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ أَنْتُمْ وَأَبَاؤُكُمْ اْلأَقْدَمُوْنَ فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
“Bagaimana pendapat kalian tentang apa yang kalian ibadahi, kalian dan bapak-bapak kalian yang dahulu. Maka sesungguhnya mereka (sesembahan-sesembahan) itu musuhku kecuali Robbul’alamin”. (QS. Asy Syu’ara’ : 75-77)
Juga mirip dengan orang-orang yang didatangi Musa ? dan kaumnya. Sebagaimana firman Allah
: وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيْلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا على قَوْمٍ يَعْكِفُوْنَ على أَصْنَامٍ لهم ْ
“Dan kami selamatkan Bani Isroil dari lautan lalu mereka mendatangi suatu kaum yang bei’tikaf dekat berhala-berhala mereka” (QS. Al A’rof : 138)
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada hakikatnya telah menggantungkan harapan dan kekhawatirannya kepada selain-Nya, padahal sebenarnya dia menyadari kalau saja Allah menghendaki maka itu pasti terjadi, dan kalau saja Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi, dan tak ada yang mampu menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk memberikan apa yang sudah dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dlm niat itulah hakikat tauhid ibadah. Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah maka akan berubah menjadi kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling kepada selain Allah dlm perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan akan menimpanya, sehingga dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah ibadah (Fathul Majid hal. 153).
Nadzar untuk selain Allah adalah batil. Bila seseorang misalnya bernadzar seekor kambing untuk Syaikh Muhyiddin atau Abdul Qodir Al Jailani. Kemudian menginfakkan dagingnya kepada para faqir dengan harapan untuk tersampainya pahala infak tersebut kepada ruh syaikh tersebut. Yang dari perbuatan itu akan muncul barokah kepada orang yang bernadzar menurut keyakinannya. Apakah nadzar seperti ini dianggap sah? Bila tidak, apakah dihalalkan makan daging tadi ataukah termasuk di dalam firman Allah ?:
وَما أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ به
“Dan apa-apa yang disembelih karena selain Allah”. (QS. Al Maidah : 3)
Sebab, hewan yang dinadzarkan tadi adalah hewan suci. Apakah menjadi haram untuk dimakan karena nadzar yang batil tadi?
Nadzar dan menyembelih karena Allah adalah sebuah ibadah dari bentuk-bentuk ibadah yang tidak boleh sedikit pun diperuntukkan kepada selain Allah. Barangsiapa yang bernadzar atau menyembelih karena selain Allah, maka dia telah berbuat syirik kepada-Nya. Makin besar dosanya apabila orang tersebut berkeyakinan bahwa si mayit mampu memberikan manfaat atau mudhorot karena dia telah menyekutukan Allah di dalam rububiyyah dan sekaligus uluhiyyah-Nya.
Nadzar untuk selain Allah tidaklah sah bahkan batil. Sehingga segala sesuatu yang dinadzarkan untuk selain Allah berupa makanan atau pun hewan yang boleh dimakan, namun tidak disembelih karena Allah merupakan bangkai yang diharamkan untuk dimakan pemiliknya atau orang lain. Maka masuklah di dalam keumuman ayat tadi. (Fatwa Lajnah Da’imah no. 4299)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh mengatakan bernazar untuk selain Allah, Adapun segala sesuatu yang dinazarkan bukan utk Allah, seperti bernazar utk berhala, matahari, bulan & kuburan serta yang semacamnya maka hukumnya sebagaimana orang yang bersumpah dgn menyebut selain Allah berupa makhluk, maka tak boleh ditunaikan & juga tak ada kaffarah-nya. Begitulah hukum bagi orang yang bernazar utk makhluk, sesungguhnya keduanya adalah syirik. Dan syirik tak memiliki nilai kehormatan sedikit pun. Pelakunya wajib beristigfar meminta ampun kepada Allah taala dari dosanya & mengucapkan bacaan sebagaimana yang diajarkan Nabi
Bernazar utk selain Allah hukumnya syirik akbar. Nazar adalah ibadah maka tak boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila diarahkan kepada selain Allah maka itu syirik akbar. Sebab ibadah itu pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu yang dicintai & diridhoi Allah baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun yang batin, & nazar termasuk di dalamnya (Al Qoul As-Sadiid, hal. 50).
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada hakikatnya telah menggantungkan harapan & kekhawatirannya kepada selain-Nya, padahal sebenarnya dia menyadari kalau saja Allah menghendaki maka itu pasti terjadi, dan kalau saja Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi, dan tak ada yang mampu menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk memberikan apa yang sudah dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dalam niat itulah hakikat tauhid ibadah. Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah maka akan berubah menjadi kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling kepada selain Allah dalam perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan akan menimpanya, sehingga dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah ibadah (Fathul Majid hal. 153).
Bernazar Kepada Selain Allah Bertentangan Dengan Kalimat Tauhid
Sesungguhnya kalimat tauhid Laa ilaaha illAllah menetapkan ibadah itu harus ditujukan hanya kepada Allah dan menolak beribadah kepada selain-Nya. Sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah taala,
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [294], dan teman sejawat, ibnu sabil [295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,(QS.An Nisaa:36)
K e t e r a n g a n :
[294] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim. [295] Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
Inilah inti ajaran Islam yang keislaman seseorang tidak akan sah kalau keduanya tidak tergabung dalam dirinya. Lalu bagaimana mungkin seorang yang mengakui Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung, satu-satunya Zat yang menguasai segala urusan kemudian menujukan salah satu bentuk ibadah (yaitu nazar) kepada selain-Nya. Bukankah hal ini jelas-jelas bertentangan dengan syahadat yang diucapkannya?
Sesungguhnya nadzar itu adalah sebuah ibadah. Sehingga mutlak harus dipersembahkan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak diperkenankan untuk diselewengkan pada selain-Nya.
B.Bernazar Kepada Kuburan Wali atau Tempat-Tempat Keramat Termasuk Nazar Yang Di Larang Dalam Islam.
Berdasarkan uraian diatas yang didasari atas dalil baik yang termaktub dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam ternyata bahwa bernazar kepada kuburan para wali atau tempat-tempat yang dikeramatkan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh banyak orang-orang muslim yang awam di negeri ini sesungguhnya merupakan nazar yang dilarang dalam Islam. Karena bernazar kepada kuburan-kuburan atau tempat-tempat keramat bukanlah ibadah sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang bernazar. Bahkan nazar tersebut termasuk perbuatan syirik.
Nazar menurut syari’at Islam adalah bagian dari ibadah,sedangkan ibadah itu hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila melakukan ibadah kepada selain Allah seperti bernazar kepada kuburan maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang syirik..
Sesungguhnya bahwa nadzar itu adalah sebuah ibadah. Sehingga mutlak harus dipersembahkan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak diperkenankan untuk diselewengkan pada selain-Nya.
Para ulama kita sebagai pewaris Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam menerangkan kepada kita tentang perkara-perkara yang ternyata banyak di antara kita tidak memahaminya. Terutama dengan digolongkannya nadzar sebagai suatu ibadah sehingga sangat rawan sekali untuk kita terjerumus kepada kesyirikan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala. Banyak kalangan mengira bahwa nazar itu boleh ditujukan kepada apa saja, termasuk bernazar kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala yang didalamnya termasuk bernazar kepada kuburan dan tempat tempat yang dikeramatkan.
Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al Quran yang mulia :
وَ مَا أنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍفَإِنَّ اللهَ يَعْلَمُهُ
“Dan apa yang kalian nafkahkan dari sebuah nafkah atau kalian nadzarkan dari sebuah nadzar maka pasti Allah mengetahui-Nya “. (QS. Al Baqarah : 270)
Apabila seseorang yang menghajatkan sesuatu kemudian dia bernazar kepada kuburan wali atau tempat-tempat keramat untuk misalnya akan menyembelih seekor kambing, ternyata kemudian apa yang dia hajatkan terkabul, maka sesungguhnya terkabulnya hajat yang bersangkutan sama sekali bukanlah karena nazarnya. Melainkan hajat tersebut terkabul adalah karena atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala dan sebenarnya itu sudah memang menjadi bagian dari takdirnya. Tidak ada samasekali kaitannya dengan kuburan wali dan tempat-tempat keramat. Sesungguhnya selain Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada kekuatan, kekuasaan atau kemampuan pihak siapapun yang dapat mengabulkan hajat seseorang. Begitu pula penghuni kubur dan tempat-tempat keramat.Hanya Allah-lah semata-mata yang dapat memberikan kemaslahatan/kemanfaatan dan begitu pula sebaliknya hanya Allah-lah yang dapat mendatangkan kemudharatan
Bernazar utk selain Allah hukumnya syirik akbar. Nazar adalah ibadah maka tak boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila diarahkan kepada selain Allah maka itu syirik akbar. Sebab ibadah itu pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu yang dicintai & diridhoi Allah baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun yang batin, & nazar termasuk di dalamnya (Al Qoul As-Sadiid, hal. 50).
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada hakikatnya telah menggantungkan harapan & kekhawatirannya kepada selain-Nya, padahal sebenarnya dia menyadari kalau saja Allah menghendaki maka itu pasti terjadi, dan kalau saja Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi, dan tak ada yang mampu menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk memberikan apa yang sudah dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dalam niat itulah hakikat tauhid ibadah. Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah maka akan berubah menjadi kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling kepada selain Allah dalam perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan akan menimpanya, sehingga dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah ibadah (Fathul Majid hal. 153).
Sesungguhnya kalimat tauhid Laa ilaaha illAllah menetapkan ibadah itu harus ditujukan hanya kepada Allah dan menolak beribadah kepada selain-Nya. Sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah taala,
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [294], dan teman sejawat, ibnu sabil [295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,(QS.An Nisaa:36)
K e s i m p u l a n
Nazar adalah perbuatan seorang mukallaf (orang yang sudah dikenai beban syariat) yang mewajibkan dirinya sendiri untuk mengerjakan suatu ibadah karena Allah, baik nazarnya itu secara mutlak maupun dengan persyaratan tertentu. Di dalam al-Qur’an Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Ini menunjukkan bahwa menunaikan nazar adalah perkara yang disukai Allah, dan tidaklah sesuatu itu disukai (Allah) kecuali sesuatu itu pasti disyariatkan.
Sesungguhnya Islam tidak mensyari’atkan kepada umatnya untuk melakukan nazar, namun demikian syari’at memerintahkan apabila bernazar wajib untuk dipenuhi.
Nazar menurut syari’at Islam adalah bagian dari ibadah,sedangkan ibadah itu hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila melakukan ibadah kepada selain Allah seperti bernazar kepada kuburan maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang syirik..
Bernazar kepada kuburan para wali atau tempat-tempat yang dikeramatkan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang muslim yang awam di negeri ini sesungguhnya merupakan nazar yang dilarang dalam Islam. Karena bernazar kepada kuburan-kuburan atau tempat-tempat keramat bukanlah ibadah sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang bernazar. Bahkan nazar tersebut termasuk perbuatan syirik.
Bernazar untuk selain Allah hukumnya syirik akbar. Nazar adalah ibadah maka tak boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila diarahkan kepada selain Allah maka itu syirik akbar. Sebab ibadah itu pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu yang dicintai & diridhai Allah baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun yang batin, dimana nazar termasuk di dalamnya ( Wallahu ta’ala ‘alam ).
S u m b e r :
1.Al-Qur’an dan Terjemahan www.salafy-db
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam www.lidwapusaka.com
3. Kitab Tauhid ( terjemahan ) Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi.
4. Fathul Majid Penjelasan Kitab Tauhid ( Terjemahan), Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh.\
5.Artikel www.rumaysho.com
6.Artikel www.assalafy.org
7.Artikel www.muslim.or.id
Samarinda, 23 Rabiul Awal 1434 H / 4 Pebruari-2013 M
( Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar